Lihat ke Halaman Asli

Aceng Fikri dan Anak Atut, Anak Haram Demokrasi?

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Membaca artikel Ellen Maringka berjudul "Terpilihnya 2 Anak Atut Dan Aceng Fikri; Refleksi Demokrasi Dan Hak Asasi" yang dipublish pagi ini, yang sepertinya merupakan tanggapan atas artikel Trending Article dari kolumnis terpavorit 2013 Ira Oemar berjudul "Democrazy yang Mengantarkan Aceng dan Dua Anak Atut ke Senayan" yang dipublish kemarin sore, membuat saya jadi pingin juga membuat artikel terkait hal tersebut, tentang fenomena lolosnya 2 anak Atut dan Aceng Fikri ke Senayan, yang bagi sebagian orang dianggap itulah demokrasi, bagi sebagian orang lain lagi dianggap democrazy.

Di artikel Ira Oemar kemarin saya sempat memberikan komentar sebagai berikut "mba Ira Anak-anaknya Atut kan bukan tersangka korupsi? kesalahan ibunya dan pamannya sehingga menjadi tersangka korupsi, seharusnya tidak perlu dikait-kaitkan dengan terpilihnya anak2 ATut ke Senayan. mereka kan pribadi yang berbeda dan sudah dewasa, punya tanggung jawab sosial dan hukum masing2, jadi tidak ada yang salah dengan Rakyat Banten memilih anak-anak Atut sebagai wakilnya di Senayan. untuk Aceng Fikri saya setuju, bahwa ia tidak pantas lolos ke senayan. Gatot Swandito sdh membahasnya, rupanya karena pemilih iseng, cuma jumlahnya jutaan. LOL."

Secara kebetulan sekali, pendapat saya di artikel Ira Oemar mendapat persetujuan dari kompasianer ahli filsafat dan logika, dosen di berbagai perguruan tinggi yang kemampuan berfilsafat dan berlogika (menurut saya) setara dengan Filsuf Yunani yaitu Aristoteles, Plato dan Socrates (makanya saya anggap sebagai guru filsafat dan logika saya) yaitu Nararya, yang mengatakan "Saya setuju dengan Pakde Kartono di atas. Menegaskan hubungan darah anak-anak Atut dengan Atut atas kesalahan orangtuanya lalu melihat terpilihnya anak-anak Atut sebagai sebuah ironi, simply stated: Genetic fallacy. Mungkin saja mereka yang memilih anak-anak Atut lebih suka menghindari genetic fallacy. Saya menggunakan "mungkin", karena bisa jadi ada faktor lain. Tetapi jika ada faktor lain, itu perlu pembuktian. Di sini kita bicara tentang norma penyimpulan. Selanjutnya, kecenderungan terjadinya praktif money politics di Banten seperti yang disinyalir di atas, tetap sekadar berpotensi mengorek naluri dugaan kita, tetapi itu tidak secara spesifik memperkuat efek ironis dari terpilihnya mereka. Itu baru memperkuat efek ironi itu jika dan hanya jika ada indikasi jelas dan spesifik bahwa anak-anak Atut pun menggunakan cara kotor untuk terpilih. Adakah indikasi ini selain indikasi umum di atas? Mungkin akan lebih menarik jika ditampilkan sehingga kita tidak sekadar menggiring opini buruk terhadap mereka tetapi indikasinya hanya indikasi umum. Dan, terpilihnya mereka bukan "politik dinasti". Istilah "terpilih" saja sudah mutually exclusive secara makna terminologis dengan "dinasti". "terpilih" berarti bahwa seseorang memangku jabatan bukan karena pengalihan kekuasaan berdasarkan garis keturunan (dinasti), melainkan berdasarkan sistem yang sah dianut di negara ini. Soal apakah sistem itu berjalan dengan baik atau tidak, itu perlu pembuktian yang lebih akurat. Salam:) ."

Kompasianer Alung de Moore juga memberikan komentar atas pendapat saya tersebut, yaitu "Wah komennya bagus sekali pakde Kartono. Tumben gak bikin ngakak tp bikin terenyuh krn objective..."

Dari kedua tulisan Ellen dan Ira, dari komentar Pakde, Nararya dan Alung, saya mau memberikan testimoni yang mudah-mudahan bermanfaat dan menjadi inspirasi untuk dunia perpolitikan di Indonesia yang sangat unik, yang berbeda dengan perpolitikan bangsa manapun di dunia, lebih-lebih selama Indonesia dipimpin oleh Jenderal (tanpa pernah Kasad dan Panglima TNI) Susilo Bambang Yudhoyono yang terkenal ke seantero sedunia sebagai orang paling bimbang dalam mengambil suatu keputusan penting, check it out ;

1. Jangan kita kembali ke jaman orde baru, di mana anak-anak mantan anggota PKI tidak punya hak politik yang sama dengan anak-anak lain, termasuk juga tidak bisa menjadi PNS. Lebih ekstrim lagi, sampai ada sebagian orang yang menganggap kalo bapak atau ibunya PKI, maka anaknya PKI juga.

Jaman sekarang tidak ada PKI, adanya tersangka korupsi dan koruptor. Jangan sampai jika bapak atau ibunya tersangka korupsi atau koruptor, lalu anak-anaknya dipersamakan seperti bapak ibunya. Jika memang melakukan korupsi juga, silakan penegak hukum memprosesnya.

2. Aceng Fikri kesalahan fatalnya karena menceraikan istri sirinya (Fani Octora) lewat SMS dan berkata-kata tidak elok ke media, ini permasalahan etika bukan hukum, makanya Aceng Fikri menerima sanksi sosial berupa cibiran dari masyarakat dan sanksi politik berupa pencopotan dari kursi Bupati Garut.

Seiring berjalan waktu, Aceng Fikri menunjukan dirinya menyadari kesalahannya, ia sepertinya tobat nasuha, dan menunjukan sungguh-sungguh bahwa ia adalah orang baik, dan maju sebagai calon DPD dari Jawa Barat. Rakyat Jawa barat memberikannya kesempatan kedua, ia lolos sebagai anggota DPD mewakili Jawa Barat bersama 3 orang lainnya (salah satunya pelawak Oni, teman Sule di grup lawak SOS).

Selalu ada kesempatan kedua, bahkan ketiga, bukankah ini hal yang universal berlaku di belahan dunia manapun. Manusia bukan Tuhan yang gak boleh salah. Manusia tempatnya salah dan khilaf, dan siapapun bisa seperti Aceng Fikri, tetapi saat sejuta lebih rakyat Jawa Barat memberikan suaranya kepada Aceng Fikri untuk mewakilinya di DPD RI, masihkah kita tega mengatakan bahwa sejuta rakyat Jawa Barat tersebut Crazy?

Waduh, Jangan gila donk...

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline