Kadang saya supersalut dengan kinerja penyidik dan komisioner KPK. Dalam menyidik suatu perkara korupsi, tidak tanggung-tanggung yang dijadikan tersangka adalah pelaku-pelaku dengan kategori BIG FISH, antara lain menteri, ketua BPK, ketua MK, kepala daerah (gubernur, walikota dan bupati), anggota DPR RI dan DPRD, pengusaha besar dan jenderal polisi. Bandingkan dengan penyidikan korupsi di Mabes Polri dan Kejaksaan Agung, yang dijadikan tersangka korupsi bukan BIG FISH-nya (misal walikota atau bupati) tapi malah SMALL FISH-nya (misal bendaharawan proyek, atau eselon IV dan III di pemkab tersebut).
Kadang saya supersebel dengan kinerja penyidik KPK. Suatu kasus sudah terang-benderang, tersangka sudah ditetapkan, tapi penyidikannya gak selesai-selesai, antara lain;
- Ada tersangka yang sudah ditetapkan lebih dari setahun, belum juga ditangkap dan ditahan. Ini kan namanya menyandera orang tersebut, jadi gak bisa ke mana-mana, posisi jabatan sudah keburu mengundurkan diri, jadinya non-job, padahal proses hukum tidak ada perkembangan berarti. Datar-datar aja. Kalo memang gak urgent dan prioritas penyidikannya, buat apa seseorang buru-buru ditetapkan sebagai tersangka, ini kan rawan dengan penyalahgunaan wewenang oleh penyidik dan komisioner KPK.
- Dalam suatu perkara suap-menyuap, misal wisma atlet di Palembang. Banyak pihak yang terlibat dalam pemberian suap ini, baik pemberi maupun penerima, namun tidak semua ditetapkan sebagai tersangka. Kesan tebang pilih tersangka pun tidak terhindarkan. Jadi tanda tanya, jika pihak KPK menyangkal melakukan tebang pilih atau pilih tebang, karena fakta yang ada, memberikan petunjuk ke arah sana. Sulit untuk dibantah, walaupun sudah pakai jurus ngeles tingkat dewa.
Terkait tebang pilih tersangka korupsi, KPK ditantang untuk menyelidiki rekening-rekening gendut milik jenderal polisi seperti pernah dilansir majalah Tempo beberapa tahun lalu, yang data lengkapnya berupa Laporan Hasil Analisis (LHA) dapat dengan mudah dimintakan ke KPK atas nama jenderal-jenderal tersebut, antara lain Budi Gunawan, Badrodin Haiti, Susno Duadji, Matheus Salempang, SY Wenas dll.
Tantangan publik dan masyarakat antikorupsi harus dijawab oleh KPK segera, tidak boleh ngeles dengan alasan apa pun juga. Kalo Budi Gunawan yang namanya ada di majalah Tempo sebagai salah satu jenderal pemilik rekening gendut, sudah diselidiki dan akhirnya ditingkatkan ke penyidikan dengan penetapan sebagai Tersangka korupsi dan pencucian uang, maka seharusnya terhadap jenderal-jenderal lainnya juga sudah dilakukan penyelidikan serupa, dan jika ditemukan 2 alat bukti yang cukup, segera tingkatkan penyelidikan ke penyidikan demi penegakan hukum.
Jangan diulur-ulur lagi waktunya, jangan sampai pihak-pihak penegak hukum, yaitu polisi, jaksa dan hakim dibiarkan bebas melenggang menghirup udara bebas, padahal mereka juga pelanggar hukum, malah lebih ganas daripada yang lain, akibat wewenang dan kekuasaannya yang besar.
So, tunggu apalagi KPK? Budi Gunawan yang calon kapolri saja sudah ditetapkan sebagai tersangka, mengapa Badrodin Haiti yang plt kapolri belum ditetapkan sebagai tersangka, padahal sama-sama punya transaksi mencurigakan seperti bocoran LHA dari PPATK, punya rekening gendut senilai miliaran rupiah, padahal gaji jenderal polisi hanyalah sekitar Rp 20 juta saja.
So, kalo KPK tidak mau dituduh bermain politik, atau mengkriminalisasi Budi Gunawan, atau komisioner KPK tidak ingin dikatakan melakukan penyalahgunaan wewenang karena buru-buru menetapkan Budi Gunawan sebagai TSK sehari sebelum pelaksanaan fit and proper test di DPR RI, sebaiknya KPK segera tetapkan jenderal-jenderal pemilik rekening gendut sebagai TERSANGKA sekarang juga, salah satunya plt Kapolri Badrodin Haiti.
Itu kalo KPK tidak tebang pilih, pandang bulu dan BERANI.
Selamat pagi Indonesia