Kata kriminalisasi sekarang lagi naik daun. Kata kriminalisasi sering disebut-sebut, bukan akibat demam Vickinisasi dari Vicky Prasetyo, tapi akibat penetapan tersangka Budi Gunawan oleh KPK, dilanjutkan penetapan tersangka Bambang Widjojanto oleh Bareskrim Mabes Polri.
Masing-masing pihak dari tersangka merasa dirinya tidak bersalah atas apa yang disangkakan, dan menuduh penyidik melakukan kriminalisasi terhadap dirinya. Ini adalah hal yang manusiawi, tidak ada tersangka yang sukarela mengaku bersalah, makanya maling motor sampai di tembak kakinya, di setrum alat kelaminnya, di sundut rokok tangannya biar mengaku bersalah. Istilah kriminalisasi ini digunakan juga oleh terpidana Labora Sitorus yang menolak dieksekusi oleh Kejaksaan karena merasa dirinya dikriminalisasi oleh Mahkamah Agung dengan putusan hakim agung Artidjo Alkostar yang memvonisnya 15 tahun penjara. Mudah-mudahan hakim agung Artidjo Alkostar membaca berkas perkara Labora Sitorus dengan baik dan benar, dan memutus perkara dengan adil, karena pertanggungjawaban atas putusan tersebut ke Tuhan YME.
Berbagai cara ditempuh untuk mendukung tuduhan pihak tersangka atas kriminalisasi ini. BG melakukan gugatan praperadilan ke pengadilan negeri Jakarta Selatan, BW menggelar demonstrasi di berbagai tempat, baik di gedung KPK, di bundaran HI, atau di tempat lain, dengan salah satu koordinator demo adalah mantan wamenkumham RI Denny Indrayana.
Bicara tentang Denny Indrayana, otomatis kita teringat akan kiprahnya sebelum masuk istana, selama di istana dan setelah tidak di istana. Hanya 1 kata yang paling tepat untuk sosok Pendekar Mabuk Denny Indrayana, yaitu KONSISTEN.
Saat di luar istana ia konsisten meneriakan anti korupsi di mana-mana, baik melalui demo jalanan atau tulisan-tulisan tajam di media massa dan media online atau wawancara LIVE di televisi.
Saat berada di lingkaran dalam istana, di epicentrum korupsi, ia konsisten membiarkan korupsi merajalela dan menjadi bagian tidak langsung di dalamnya. Ia tidak melaporkan pelaku-pelaku korupsi di istana yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri, di dengarnya dengan kedua telinganya sendiri.
Mereka semua adalah sahabat-sahabatnya, bahkan sudah seperti saudara kandung, yang tidak akan dilaporkan walau berbuat salah, justru akan dibela sampai titik darah penghabisan. Salah satu contohnya adalah pembelaan membabi buta terhadap grasi yang diberikan presiden SBY kepada bandar narkoba Meirika Franola a.k.a Ola dan Corby. Padahal di belakang pemberian grasi tersebut, desas desusnya terlibat uang besar senilai miliaran yang dinikmati ring dalam istana.
Saat ini ada desas desus lain, Denny Indrayana dikabarkan terlibat korupsi selama menjabat wamenkumham RI. Kasusnya sudah diaudit BPK dengan laporan audit bulan Desember 2014 setebal 134 halaman.
[caption id="attachment_396140" align="aligncenter" width="358" caption="Dok pribadi"][/caption]
Hasil Temuan BPK telah mengindikasikan adanya suatu penyimpangan serius dalam implementasi Payment Gateway (PG) di Kemenkumham dalam SPPT (Sistem Pelayanan Paspor Terpadu) yang nyata-nyata telah bertentangan dengan Ketentuan Pengelolaan Keuangan Negara, karena adanya Pungutan Biaya Tambahan, serta menggunakan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) secara tidak sah, sehingga mengakibatkan kerugian negara sebesar lebih dari Rp 32 miliar, juga terdapat pungutan liar sebesar lebih dari Rp. 605 juta.
Hal tersebut terjadi dikarenakan Menkumham melampaui wewenangnya dengan menerbitkan SK Permenkumham No 18 tahun 2014, dengan Pimpronya WamenkumHAM RI Denny Indrayana.