Lihat ke Halaman Asli

Bukan Sombong, Tulisanku Memang Bagus, Makanya......

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_135859" align="alignnone" width="640" caption="Seperti inilah bentuk amplop sekaligus isi undangan jaman dulu"][/caption]

BUKAN SOMBONG, TULISANKU MEMANG BAGUS

Bukan sombong, tulisanku memang bagus. Demikian juga yang dikatakan banyak orang.Hal itu kusadari sejak kelas lima SD. Selain kakekku rajin mengajariku bagaimana cara menulis yang bagus. Dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia disekolah juga diajarkan menulis yang baik, benar dan bagus. Buku untuk mata pelajaran menulispun khusus , garisnya berbeda dengan buku tulis biasa. Cara menulisnyapun tidak sembarangan tekanan potlot atau pensil(saat itu belum ada ballpen)nya diatur, keatas mengambang (halus) kebawah agak ditekan(kasar). Hasilnya memang bagus tulisan menjadi halus kasar.

Disekolah bahkan hukuman untuk murid yang melanggar atau tidak patuhpun sangat positif. Umpamanya ada murid yang terlambat masuk dia diberi hukuman dengan menulis biasanya peribahasa atau pepatah seperti Rajin pangkal pandai, Malas pangkal bodoh atau Sedikit sedikit lama lama menjadi bukit sebanyak dua halaman lebih buku halus kasar, tergantung berat ringannya pelanggaran.

Untuk nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia guru memberi dua nilai, yang pertama untuk soal Bahasa Indonesia dan yang lainnya untuk nilai tulisan. Umpamanya soal Bahasa Indonesia ada sepuluh jika salah dua maka nilai B (bahasa) 8, nilai T (tulisan) 7 (tergantung bagus tidaknya tulisan).Sebab itulah maka banyak murid-murid termasuk saya tulisannya bagus-bagus.

Karena tulisan saya bagus maka saya sering dimintai tolong untuk membuat undangan oleh saudara atau tetangga yang akan mengadakan perhelatan pesta khitanan atau perkawinan.Biasanya dua bulan sebelum hari H undangan sudah mulai dibuat.Mengapa demikian , pasalnya membuat undangan itu memakan waktu lama tidak seperti sekarang. Dulu belum ada komputer, mesin tik dan mesin stensil saja adanya di kantor perusahaan, jadi hanya orang tertentu saja yang membuat undangan pakai stensilan, Mandor atau Kerani.

Untuk membuat ulem-ulem (undangan) biasanya sambatan (beberapa orang membantu secara suka rela) dirumah yang punya hajat.Tuan rumah menyediakan alat tulis ; beberapa buah buku tulis, kertas karbon, dan pensil.

Menulis undangan biasanya dikerjakan malam hari setelah para penulis pulang dari kerja di kebun atau pabrik. Terkadang dikerjakan empat sampai enam orang termasuk saya.Dan tentunya kopi serta makanan kecil dihidangkan oleh tuan rumah untuk cemilan.

Membuat undangan memang tidak bisa cepat, lantaran ditulis tangan memakai potlot atau pensil, kenapa memakai pensil karena menulisnya itu diatas kertas berlapis karbon sampai lima lapis,cara menulisnyapun harus hati-hati dan ditekan agar bisa membekas sampai lapisan paling bawah, itupun terkadang yang paling bawah kabur tidak bisa terbaca. Tak masalah, toh penerima undangan kelak ketika menerima kertas (bukan kartu) undangan akan bertanya juga pada sipengantar undangan ” Dari siapa, dimana, perlunya apa, tontonannya apa dan kapan?” dan terkadang masih ditambah lagi dengan pertanyaan “Besanan dengan siapa”. Percuma pakai undangan jika pertanyaannya sangat mendetail, ya mungkin hanya formalitas daripada kertas kosong.

Dan lucunya demi penghematan (bagi orang yang kurang mampu) satu halaman buku kwarto itu bisa ditulis untuk tiga atau empat undangan, artinya satu lembar dibagi empat.Sedangkan untuk amplopnya kertas itu juga dilipat sedemikian rupa lalu dibagian luar dibuat garis diagonal untuk ditulis alamat pengirim sekaligus penerima undangan.

Selesai membuat undangan biasanya para penulis hanya diberi beberapa bungkus rokok sebagai "honorarium"nya (uang lelah), itupun bagi yang dewasa atau perokok, sementara saya yang masih kelas 6 SD hanya berharap mendapatkan sisa buku , pensil dan kertas karbon yang tidak terpakai.

Itulah konsekwensi orang yang tulisannya bagus seperti saya, sering dimintai tolong orang untuk membuat undangan atau ulem-ulem.

Namun saya merasa bangga dan puas walaupun tidak mendapat sesuatu.

Banyak orang mendapat manfaat dari “karya tulis” saya.

Apakah saya sombong ?

*****

Sol Sel, 151011

Pak De Sakimun

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline