Lihat ke Halaman Asli

Jangan Kami Kau Jadikan "Tumbal" Kerakusanmu!

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14011975391594571142

[caption id="attachment_308703" align="aligncenter" width="600" caption="Untuk menarik hati rakyat, bukan dengan cara bodoh, lakukanlah dengan cara cerdas dan humanis. Edit.prib."][/caption]

Mungkin ada beberapa orang yang masih asing, dan bertanya-tanya dengan tulisan yang ada pada ilustrasi artikel ini. Ya, itu aksara jawa bunyinya “SURA DIRA JAYANINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI”. Atau bentuk lengkapnya “SURA SUDIRA JAYANING KANG RAT SWUH BRASTHA TEKAPING ULAH DARMASTUTI”. Sura = wani (berani), sudira = kendel, kokoh , jaya = sekti (sakti), rat = jagat (dunia), swuh brastha = basmi, , (musnah, hancur), darma = laku (perbuatan), astuti = becik (terpuji, memuji, do’a atau bijaksana, kasih sayang, keluhuran budi pekerti dan kebaikan lainnya). Jadi jika diterjemakan secara bebas; orang yang HAMBEG ANGKARA MURKA, mengagung-agungkan keberanian, kekuatan, kesaktian, kedigdayaan, kemewahan, kelicikan, ketakaburan dan - terkadang diringkas menjadi ADIGANG, ADIGUNG, ADIGUNA - di dunia ini, akan terbasmi, musnah, hancur-lebur (bisa dikalahkan) oleh DARMASTUTI, perbuatan terpuji, bijaksana, jujur, bersih hati, kasih sayang sesama, keluhuran budi pekerti dan do’a.

Kebalikan dari itu adalah, WANI NGALAH LUHUR WEKASANE. Artinya, berani atau mau mengalah, akan mendapat kemenangan dan kemuliaan dikemudian hari. Misalnya disindir, diejek, dicaci bahkan difitnah, biarkan. Berarti mereka sebetulnya sedang menguras energi untuk kalah. Membela diri atau menepis fitnahan, boleh, tapi bukan membalas dengan perbuatan yang sama.

Kembali pada judul. Tulisan ini lahir karena saya melihat dan merasakan ada sesuatu yang mengkhawatirkan akhir-akhir ini. Hal itu berkaitan dengan pilpres yang akan dilaksanakan 9 Juli mendatang. Ada sesuatu yang membuat keresahan, bahkan berpotensi menimbulkan friksi antar para pendukung masing-masing capres. Ejek-mengejek, sindir-menyindir bahkan ancam mengancam.

Ironisnya, ejek-mengejek, sindir menyindir, fitnah memfitnah dilakukan oleh beliau-beliau para elite politik, para intelektual, yang berpendidikan tinggi, para sarjana, bergelar profesor, bertitel doktor dan lain sebagainya. Alih-alih bisa mencegah atau meredam tim suksesnya, justru mereka sendiri yang menghasut dan memprovokasi. Dan yang lebih membahayakan adalah menghembuskan isu  SARA. Ini bisa mengusik kerukunan antar warga, bahkan berpotensi memecah belah kehidupan berbangsa dan bernegara.

Saya memohon kepada yang terhormat bapak-bapak penggila kekuasaan. Terutama saya mohon kepada Bapak Profesor Doktor Haji Muhammad Amin Rais. Lho kok Amin Rais dibawa-bawa? Ya beliau kan Bapak Reformasi. Mana bukti hasil reformasi itu? Apa implementasi dari reformasi itu?

Ya sudah, era reformasi kita lupakan, kita masuk ke era “REVOLUSI MENTAL”.

Kembali ke Bapak Profesor Doktor Haji Muhammad Amin Rais. Setelah tahu dari hasil quick count bahwa PDIP yang menjadi pemenang (seperti pada pemilu 1999) pada pileg lalu, beliau langsung menawarkan ide “brilian”nya, yakni membentuk poros tengah jilid II (akan mengulang “kesuksesan” poros tengah jilid I). Gagasan “cerdas” itu terbaca kelicikannya oleh berbagai kalangan, alhasil beberapa partai tidak meresponnya. Karena kurang mendapat respon dari beberapa partai, maka dibentuklah Poros Indonesia Raya atau disebut koalisi TENDA BESAR. Saya hanya rakyat biasa yang selalu mendambakan suasana aman dan damai, bukan simpatisan atau kader partai apapun.

Sebetulnya tak masalah membuat poros tengah, poros pinggir, poros ujung, atau koalisi tenda besar, tenda kecil, tenda biru atau tenda-tenda lainnya. Namun, jangan karena didasari iri, dengki dan sirik karena partainya tidak mendapat tiga besar. Dan  jangan pula dibumbui isu-isu SARA demi ambisi kekuasaan. Hati-hati Pak, Bapak itu selain Profesor Doktor, juga Bapak seorang ustadz atau pemimpin umat. Ceramah Bapak, atau bahkan celotehan Bapak itu masih dipercaya banyak orang. Jika celotehan Bapak itu tidak membuat kesejukan atau kedamaian atau bahkan menghasut dan memprovokasi umat, Bapak harus bertanggung jawab jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan antar warga atau antar pendukung capres.

Sekali lagi mengapa kok Amin Rais? Ya, karena ketua partai beliau yang sedang digadang-gadang menjadi Wakil Presiden. Dan, Bapak Profesor Doktor Haji Muhammad Amin Rais didalam Poros (Gerakan) Indonesia Raya yang paling senior dalam berbagai hal. Senior dalam usia, senior dalam bidang akademis, senior dalam berpolitik dan banyak lagi tentang keseniorannya. Jadi, tolong Pak ajaklah tim sukses Bapak untuk berkampanye cerdas, kampanye damai, bukan malah propaganda murahan. Bapak bergelar Profesor, jangan sampai  gelar Bapak diubah menjadi provokator. Maaf ya, Bapak Profesor Doktor Haji Muhammad Amin Rais.

Pak kami jangan kau adu dengan saudara kami. Kami butuh suasana aman dan damai. Janganlah kami kau jadikan “tumbal” kerakusanmu!!! Dengar Pak!!!???

Ingat. “SURA DIRA JAYANINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline