Lihat ke Halaman Asli

Ka eM Pe

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humor. Sumber ilustrasi: PEXELS/Gratisography

Kanjeng Mas Prawoto (KMP) adalah seorang lurah di Kelurahan Makin Puyeng (KMP). Ia sedang mengadakan musyawarah bersama warga untuk membicarakan sesuatu atau mengubah suatu undang-undang yang sangat penting dan strategis demi kemajuan dan kesejahteraan warga lima tahun ke depan. Setelah lima tahun, tidak tahu, apakah akan diubah lagi.

Musyawarah itu dibuat ala konferensi, namanya KMP (Konmberesi Meja Persegi). Yang di “musyawarah”kan itu mengenai UU MDDD (Ujug-Ujug Mendadak Diusulkan Dipaksakan untuk Disahkan) dan RUU Pilkada (Rencana Ubleg-Ubleg Pilihan Kepala Dapurmukrowak).

Hadir berbagai kelompok warga sebagai peserta musyawarah. Ada yang menamakan diri KMP (Kelompok Merah Padam), Kelompok Manusia Pemaksa, Kelompok Menang Pokoknya, Kelompok Maling Pitik, Kelompok Males Payah dan Komunitas Masyarakat Peduli. Yang terakhir ini kelompok yang paling nyleneh.

Inilah cuplikan beberapa dialog antara KMP (Kanjeng Mas Prawoto) lurah KMP (Kelurahan Makin Puyeng) dengan KMP (Kelompok Manusia Pemaksa) dan KMP-KMP lainnya.

KMP P (Pemimpin Musyawarah): “Kalian tahu, dampak dan ekses yang timbul  jika memilih pemimpin secara langsung oleh masyarakat yang tingkat pendidikannya masih rendah?”

KMP R (Rakyat, peserta musyawarah): “Tahu Pak, akibatnya adalah rakyat bisa memilih pemimpin yang baik dan sungguh-sungguh memikirkan rakyat!”

P : “Triliunan rupiah dihambur-hamburkan sia-sia, ratusan kepala daerah terjerat korupsi, gedung-gedung pemerintah dibakar, konflik horizontal sering terjadi dan menelan korban jiwa, itu yang hendak kalian pertahankan?”

R : “Lho kok rakyat yang disalahkan, itu kan masalah mental dan moral, bukan karena salah rakyat memilih langsung”

P : “Dipilih oleh orang-orang bodoh(rakyat), maka akan menghasilkan pemimpin-pemimpin bodoh pula”

R : “Jadi Bapak menganggap rakyat semua bodoh.”

P : “Ya, 60% rakyat indonesia tingkat pendidikannya masih rendah, makanya untuk memilih seorang pemimpin diperlukan orang-orang cerdas, berpendidikan tinggi bila perlu ber IQ diatas 152”

R : “Jadi, jika kepala daerah dipilih anggota DPR itu artinya dipilih oleh 100% orang-orang cerdas, begitu?”

P : “Tepat sekali, sebab, salah satu syarat menjadi anggota DPR itu adalah berpendidikan SMA ke atas, jadi  DPR itu adalah kumpulan orang-orang terdidik, makanya jika memilih kepala daerah sudah pasti hasilnya lebih baik daripada dipilih rakyat.”

R : “ Rakyat yang menginginkan pemilihan langsung semua bodoh. Bukankah diantara yang 60% itu ada orang-orang yang cerdas dan berpendidikan tinggi juga, sebut saja ada 1% orang-orang berpendidikan seperti mahasiswa, guru, dosen, pengusaha dan para profesional lainnya. Jika pemilih itu ada 100 juta orang, maka ada orang-orang yang berpendidikan(tinggi) 1% X 100.000.000 = 1.000.000 orang. Lebih banyak mana 600 orang pintar (anggota DPR) dibanding 1 juta orang pandai (1% dari 100 juta orang bodoh)?”

P : “Ah, sudah, dasar rakyat bodoh, diberi penjelasan seperti apapun tak akan ngerti!”

R : “Sudah tahu rakyat bodoh, malah semakin diperbodoh atau dibodoh-bodohi, kapan pinternya?”

Alhasil KMP (Konmberesi Meja Persegi) di KMP (Kelurahan Makin Puyeng) yang dipimpin oleh lurah KMP (Kanjeng Mas Prawoto) itu anti klimak, tak menemukan kata sepakat. Ibarat pesta yang tiada akhir, seperti Pilpres 2014 yang (dibuat) tak pernah usai entah sampai kapan.

Ya sudahlah kita tunggu tanggal 25 September 2014 atau keputusan MK atas gugatan (jika ada) berkaitan dengan UU MDDD dan RUU Pilkada. Orang bodoh harus sabar, dan mau menerima apa keputusan para wakil rakyat yang cerdas itu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline