Lihat ke Halaman Asli

Cahya Yuana

Akun Pribadi

Aku Bukan Pejuang, Aku Seorang Pecundang?

Diperbarui: 28 November 2018   11:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Selesai sudah bahan tayang yang aku buat. Lega tentunya, setelah semalaman saya mempersiapkan bahan tayang dan materi. Hari itu kebetulan saya mendapat tugas untuk mengajar sebuah pelatihan. Selain bahan tayang semua perangkat untuk mengajar  sudah saya siapkan. Kertas plano, kertas warna, spidol untuk menunjang pembelajaran sudah saya beli dan saya masukan dalam tas hitamku. Tidak ketinggalan karet gelang dan bola plastik untuk keperluan ice breaking.  Saatnya menyiapkan diri dengan mandi air hangat.

 Aku pacu kendaraan ke sebuah rumah makan tempat pelaksanaan pelatihan tersebut. Pelatihan tersebut memang berada di sebuah aula rumah makan. Sebuah instansi pemerintah mengontak saya untuk menyampaikan materi terkait dengan etos kerja. Aku masuki aula rumah makan dengan mantap. Seandainya ada alat ukur yang mampu memvisualkan rasa percaya diri, bisa jadi rasa percaya diri saya sebesar kepala kerbau.

Usai sudah pelatihan etos kerja. Rasa puas dan bangga terbersit dalam hati. Tepuk tangan dan antusias peserta masih membekas dalam ingatan ini. Bagaimana tidak bangga, mengajar adalah pekerjaan mulia. Dalam sebuah khutbah jumat seorang khotib pernah mengatakan orang yang harus bersyukur adalah orang yang selalu menyebar ilmu pengetahuan. Sebuah pekerjaan yang sangat luar biasa bagi saya. Apalagi mengajar juga merupakan hobi bagi saya. Saya lahir dari keluarga guru. Sejak kecil orang tua saya juga membiasakan diri untuk mau berlatih bicara didepan umum.

Saat saya masih membayangkan dan mengingat apa yang baru saja saya lakukan, mataku tertuju kepada tumpukan sebuah majalah. Ada satu majalah yang terbuka. Sebuah judul artikel tertangkap oleh mata bulat nan cerah ini. "Perjuangan seorang Veteran". Judul yang menarik untuk dibaca. Bisa jadi istriku baru membaca majalah itu dan lupa untuk menutupnya. Aku buka majalah itu, baris demi baris aku baca artikel tersebut. Tak terasa air mataku meleleh. Jiwa kesatriaku seakan tercabut dan berubah menjadi seorang yang cengeng.

Artikel tersebut menceritakan kisah seorang veteran perang pada masa revolosi dengan Belanda dan Jepang. Sebuah kisah heroik dan penuh pengorbanan. Dalam artikel tersebut diceritakan saat berjuang melawan  penajajah Belanda dia harus meninggalkan anak dan istri. Tidak hanya itu harta pun kadang harus dikorbankan demi perjuangan tersebut. Dua ekor kambing yang dia miliki harus dibawa sebagai bekal selama ikut perang gerilya. Cap eksrimis dan radikal melekat pada dirinya. 

Cap ini tidak hanya didapatkan dari para penjajah. Tidak sedikit tetangga atau teman yang memilih menjadi kacung belanda juga memberikan cap ekstrimis dan radikal. Kisah semakin mengharukan bila melihat hidup veteran saat ini Perjuangan yang berdarah-darah penuh pengorbanan ternyata tidak sebanding dengan apa yang dia dapatkan setelah kemerdekaan Indonesia teraih. Di masa tuanya dia masih harus berjuang sekedar untuk mendapatkan uang untuk makan.

Rasa banggaku seakan tercabut setelah membaca artikel tersebut. Perasaan bahwa diri ini penuh dengan jasa seakan hilang tanpa bekas. Diri ini merasa belum berbuat apa-apa untuk negeri ini. Bahkan timbul pertanyaan apakah yang selama ini saya lakukan betul-betul  untuk negeri ini, atau jangan-jangan apa yang saya lakukan sebetulnya untuk diri dan keluarga saja. Jangan-jangan motivasi saya mengajar bukan untuk menjadikan orang pintar akan tetapi sekedar untuk mendapatkan beberapa lembar uang.

Perasaan jauh dari pengorbanan semakin menjadi, saat mengingat saya sering mengeluh saat melatih tapi tidak mendapat honor. Padahal setiap bulan gaji dan tunjangan sudah saya dapatkan. Semakin miris saat mengingat aku pernah marah dan tidak mau mengisi tanda tangan dan mencoret selembar kuitansi hanya karena sang petugas salah dalam mengetik. 

Kesalahan ketik yang juga sering terjadi pada diri kita. Padahal petugas tersebut hanyalah tenaga honorer dengan honor yang tidak seberapa. Maka sudah pantaskan kalau aku menganggap aku seorang pejuang. Atau justru aku termasuk orang-orang yang merusak negeri ini. Atau bahkan aku termasuk perampok negeri ini dengan dalih program-program pelatihan yang aku lakukan.

Hati semakin pilu saat mengingat sabda Rasululah  dalam sebuah hadits panjang diriwayatkan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah:

Dari Utbah bin 'Abad As-Salmiy bahwasannya Rasulullah bersabda,

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline