Hight Order Thingking Skills atau sering disingkat HOTS pada saat ini menjadi terminologi yang sering disebut dan didiskusikan oleh insan pendidikan di Indoensia. HOTS juga menjadi landasan dari implementsi Kurikulum 2013. Pemerintah menginginkan sekolah dapat mencetak lulusan yang mempunyai kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS).
HOTS adalah cara berpikir yang tidak saja mengingat dan menerapkan. HOTS adalah berpikir analitik dan kreatif. Siswa-siswa di Indonesia diharapkan mempunyai kemampuan analisis dan kreasi. Konsep HOTS sebetulnya didasari pada teori kecerdasan yang sering disebut taxonomy Bloom. Bloom dalam teorinya membagi tingkat berpikir manusia sampai 6 level yang meliputi mengingat (C1), memahami (C2), menerapkan (C3), Menganalisis (C4), Menilai/Mengevaluasi (C5), dan Mengkreasi (C6).
Berpikir tingkat tinggi kalau dilihat dari level taxonomy bloom adalah berpikir yang sudah masuk pada level menganalisis (C4), menilai/mengevalusi (C5), dan mengkreasi (C6).
Pemerintah Indonesia pada saat ini berupaya keras mencetak lulusan sekolah atau perguruan tinggi yang mampu berpikir tingkat tinggi. Upaya keras pemerintah ini didasarkan hasil evalusi PISA dimana siswa-siswa di Indonesia belum terbiasa berpikir tinggi. PISA adalah adalah merupakan akronim dari "Programme International Student Assesment".
PISA dikenalkan oleh OECD (Organization For Economic Co-operation and Development). Pisa menguji penguasaan remaja berusia 15 tahun terhadap kemampuan membaca, sains, dan matematika. Hasil evaluasi PISA 2015 menunjukan performa siswa-siswi Indonesia masih tergolong rendah. Berturut-turut rata-rata skor pencapaian siswa-siswi Indonesia untuk sains, membaca, dan matematika berada di peringkat 62, 61, dan 63 dari 69 negara yang dievaluasi (Hazrul Iswadi, www.ubaya.ac.id). Siswa Indonesia kebanyakan jatuh pada saat mengerjakan soal yang bersifat HOTS. Hal ini terjadi karena siswa di Indoensia lebih banyak diajar untuk menghafal dan menerapkan bukan menganilis masalah dan memecahkan masalah.
Abad 21 adalah abad teknologi informasi. Pada era teknologi informasi pengetahuan sangat didapat dan dipelajari oleh masyarakat. Pada saat ini ada orang yang mampu membuat bom dengan daya ledak yang tinggi meski orang tersebut belum pernah pelatihan membuat BOM. Akses internet yang mudah menyebabkan sebuah pengetahuan dapat dipelajari secara mandiri.
Mudahnya akses informasi juga menyebabkan perubahan yang cepat dalam bidang pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Temuan sebuah pengetahuan/teknologi baru akan diikuti temuan yang baru lagi. Kondisi ini menyebabkan persaingan yang tajam, orang yang mampu mengikuti perubahan yang akan mampu bertahan.
Kreativitas oleh karena itu menjadi kompetensi yang amat dibutuhkan. Bernie Trilling dan Charles Fadel dalam bukunya 21 ST Century Skills menulis kompetensi yang wajib dimiliki pada abad 21 adalah kreativitas dan problem solving.
Gelombang informasi juga perlu disikapi secara kritis. Pada akhir-akhir ini hoax menjadi hantu yang menakutkan. Dalam era teknologi informasi hoax atau berita palsu akan sangat mudah tersebar. Pada tahun 2012 tentu kita masih ingat adanya berita kiamat 2012. Berita bahwa dunia akan berakhir pada tahun 2012 tersebar dengan cepat di seluruh penjuru dunia.
Dampaknya luar biasa. Berita tersebut mampu menyihir banyak orang. Banyak orang yang mempercayai berita tersebut. Bahkan tidak sedikit orang yang melakukan bunuh diri karena percaya dengan berita tersebut. Hoax juga menjadi senjata untuk saling menjatuhkan. Tentunya ingatan bangsa Indonesia belum hilang terkait konstelasi sebuah pilkada beberapa waktu yang lalu.
Para pendukung dari semua pihak sering memproduksi berita hoax untuk menjatuhkan lawan politik, atau sebaliknya membuat berita hoax yang bercita rasa positif untuk menaikan citra tokoh yang didukung. Kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan dalam menyikapi berita hoax tersebut. Bernie Trilling dan Charles Fadel dalam bukunya yang sama juga menuliskan salah satu keterampilan abad 21 adalah kemampuan berpikir kritis.