Lihat ke Halaman Asli

Cahyadi Takariawan

TERVERIFIKASI

Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

H-56 Menuju Tanah Suci

Diperbarui: 4 September 2024   05:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.pexels.com/

Perjalanan umroh adalah perjalanan yang menggambarkan puncak kerinduan kepada sosok agung, Nabi akhir zaman, Muhammad saw. Seorang pemimpin yang kelak berhak memberi syafaat kepada umatnya.

Umroh adalah perjalanan rindu. Sebab, siapapun yang merindukan seseorang, akan berusaha untuk menemuinya, meskipun seseorang yang dirindui itu sudah tiada. Walau hanya bertemu peninggalannya, walau hanya bertemu makamnya, ia sudah sangat bahagia.

Demikian pula jika kita cinta kepada seseorang, kita akan bahagia dengan segala sesuatu yang mengingatkan kita kepadanya. Beribadah di tempat yang beliau dulu beribadah. Berdoa di tempat yang dulu beliau berdoa. Menangis di tempat yang dulu beliau menangis.

Kita merasakan suasana nyaman saat berada di mesjid Nabawi. Kita merasa tenang saat berada di Masjid Haram. Di masjid-masjid inilah sosok yang kita cintai itu dulu berkegiatan bersama para sahabat beliau. Di tempat ini pula dulu beliau merancang perjuangan untuk menggapai kemenangan.

Inilah esensi perjalanan yang  menggambarkan besarnya kerinduan. Kita adalah umat Muhammad yang tak berkesempatan bertemu beliau di dunia. Namun berharap kelak bisa menemani beliau di surga.

Perasaan rindu ini pernah dimiliki oleh Tsauban, pelayan Nabi, hingga sebuah ayat Al-Quran turun menjawab kerinduan hatinya. Ayat itu adalah, "Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya" (QS. An-Nisa: 69).

Imam Az-Zamakhsyari menjelaskan dalam kitab tafsirnya Al-Kasysyaf, bahwa suatu hari Tsauban mendatangi Nabi dengan kondisi sedih.

Ketika ditanya Nabi tentang kondisinya, Tsauban menjawab, "Wahai Rasul, aku tidak sedang sakit ataupun kelaparan. Hanya saja beberapa hari ini aku tidak memandang wajahmu, rasa rinduku muncul, ingin segera bertemu engkau".

"Aku berpikir, kelak di akhirat mana mungkin bisa bersamamu? Aku hanyalah manusia biasa, sedang engkau seorang Nabi yang mulia. Meskipun kelak di surga, aku tak bisa menikmati surga bersama engkau, sebab engkau menikmati surga bersama para Nabi lainnya," lanjut Tsauban.

Tak lama kemudian, turunlah ayat di atas yang menghibur kesedihan Tsauban.  Inilah kesempatan kita sebagai umat Muhammad saw. Kita memiliki kesempatan untuk bertemu dan menikmati surga bersama beliau dan para sahabat beliau.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline