Kumpulan tulisan yang ada di buku ini, jelas bukan sekedar kisah. Ini adalah marwah. Ini adalah perjuangan yang --sebagiannya, harus berdarah-darah.
Jika hanya sekedar kisah, sepertinya tak terlalu menarik untuk dibaca. Namun karena tengah menuliskan marwah, maka memiliki nilai yang sungguh istimewa. Tak sekedar kumpulan kata-kata. Benar-benar kumpulan jiwa, dan bernyawa.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), marwah adalah kemuliaan atau harga diri. Pada dasarnya, setiap orang akan memiliki kebanggaan dan kemuliaan dari beberapa bagian dari kisah kehidupannya. Inilah yang akan membangun pewarisan sejak di dalam rumah, masyarakat, bangsa dan negara tercinta.
Mbak Etica, misalnya, ia menuliskan dengan penuh kebanggaan profesinya "sebagai ibu rumah tangga" (hal. 57 -- 61). Ia tinggal di Gunungkidul, Yogyakarta."Rumah menjadi tempat bekerja alias kantor, tempat mengajar alias sekolah, tempat mengabdi alias melayani seluruh penghuni rumah, dan sebagainya," tulisnya penuh kebanggaan.
"Sejak menamatkan kuliah dan mencicipi sebentar pengalaman kerja di sekolah, kini saya mendedikasikan diri untuk keluarga di rumah", sambung Etica (hal 59). Jelas, ia merasa memiliki marwah dengan pilihan profesinya itu. Tak ada rasa malu --yang pada sebagian kalangan ibu rumah tangga, menyebut posisi dirinya dengan malu-malu.
Demikian pula penuturan Bang Rahmad Suryadi (hal 79 - 83). Beliau adalah guru di SMP Muhammadiyah 30 Jakarta. "Menjadi guru tidak sekedar mengajarkan ilmu kepada murid berdasarkan buku atau media ajar", tulisnya.
"Menjadi guru adalah mengajar dengan profesional, dan membersamai proses mengajar itu dengan sepenuh hati dan kasih sayang, sehingga murid akan selalu nyaman dan dekat dengan gurunya" (hal 80). Tampak betapa bang Rahmad bangga dengan kemuliaan profesinya sebagai guru.
Ada lagi kisah yang dituturkan dengan kebanggaan. Mbak Ismiasih adalah seorang penyuluh pertanian di Lampung Tengah, dan menyebut dengan bangga bahwa profesinya adalah "pemulia manusia" (hal 112 -- 116).
"Pemulia manusia adalah istilah yang saya gunakan untuk profesi penyuluh pertanian," ujarnya. "Penyuluh pertanian adalah agen perubahan. Kegiatan penyuluhan pertanian bertujuan mengubah perilaku petani dengan meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan" (hal 114).
Pak Noto Susanto berbeda lagi kisahnya. Sejak dari judul tulisan, kita sudah merasakan marwah yang beliau bangun melalui kisahnya, "Kisah Satpam Jadi Dosen yang Menulis 15 Buku" (hal. 130 -- 134). Dengan renyah beliau bertutur, bahwa dirinya mengawali karier di Jakarta sebagai Satpam, yang belum punya pengalaman menulis.