"Semua survei menunjukkan bahwa masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, menginginkan kehidupan berkeluarga," ujar Kay Hymowitz, seorang peneliti di Manhattan Institute, New York. Namun masalahnya, apakah mereka menganggap penting untuk membangun dan memperjuangkan sebuah pernikahan yang berhasil?
Sebuah studi dari Pew Research Center untuk masyarakat Amerika menunjukkan, 47 % remaja laki-laki menyatakan menjadi orang tua yang baik adalah hal terpenting dalam hidup mereka (Hannah Seligson, 2017). Menurut Seligson, prosentase ini menunjukkan kenaikan yang signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Sebanyak 36 % laki-laki berusia di atas 35 tahun menyatakan bahwa "a successful marriage is one of the most important things in their life", pernikahan yang sukses adalah salah satu hal terpenting dalam hidup mereka. Sedangkan pada kelompok usia 18 hingga 34 tahun, hanya 36 % yang mengatakan bahwa pernikahan yang sukses adalah salah satu hal yang paling penting (Hannah Seligson, 2017).
Angka-angka ini, di satu sisi menunjukkan masih adanya harapan. Namun di sisi lain, menunjukkan rendahnya penilaian terhadap urgensi menjaga dan memperjuangkan sebuah pernikahan yang sukses.
Fenomena Ketidakdewasaan Laki-laki
Fenomena ketidakdewasaan --khususnya laki-laki, dalam kehidupan pernikahan maupun dunia kerja, telah banyak dibahas dan menjadi objek studi. Sejumlah buku telah mengupas fenomena ini. Misalnya The Boy Crisis karya Warren Farrel, Manning Up karya Kay Hymowitz, serta buku karya Richard Reeves, Of Boys and Men: Why the Modern Male Is Struggling.
Kay Hymowitz menyebut masa pra-dewasa laki-laki sebagai "sort of limbo, a hybrid state of semi-hormonal adolescence and responsible self-reliance". Keadaan campuran antara masa remaja semi-hormonal, dan kemandirian yang bertanggung jawab. "This pre-adulthood doesn't bring out the best in men," ujar Hymowitz. Menurutnya, masa pra-dewasa ini tidak menghasilkan sisi terbaik dari laki-laki.
Sebuah penelitian di Inggris menemukan bahwa sepertiga laki-laki Inggris mengaku tidak tahu cara membersihkan kamar mandi, menyetrika baju, atau menggunakan peralatan rumah tangga. Satu dari tujuh responden mengaku bahwa ibu mereka masih mencucikan baju mereka; dua pertiga responden mengaku masih memiliki minat yang berlebihan terhadap mainan anak-anak, seperti Lego (Paul Chai, 2014).
Maka Kay Hymowitz menilai "ketidakdewasaan laki-laki" menjadi masalah serius dalam membangun kehidupan pernikahan. Dalam buku Manning Up, Hymowitz menunjukkan bagaimana laki-laki berusia 20 hingga 30-an masih sering tampil sebagai "anak laki-laki yang menua, geek maladroit, atau pemalas yang kotor".
Dave Gordon, seorang peneliti di Institut Austin, menyebutkan "ketidakdewasaan laki-laki" sebagai alasan perceraian, bisa terjadi pada semua kelompok usia. Meskipun menikah pada usia di atas 30 tahun, masalah ketidakdewasaan sepertinya tidak berkurang sebagai masalah dalam pernikahan (Wiley, 2014).