Lihat ke Halaman Asli

Cahyadi Takariawan

TERVERIFIKASI

Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Pendidikan, Bukan Pemaksaan

Diperbarui: 9 Agustus 2022   15:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.kompas.id/

Semenjak kasus dugaan pemaksaan jilbab di SMAN 1 Banguntapan Jogjakarta bergulir Juli 2022 lalu, hingga hari ini masih terus diperbincangkan publik. Usaha-usaha mediasi dari Pemerintah Provinsi, DPRD Provinsi, serta berbagai kalangan masyarakat masih terus berlangsung.

Tentu saja harapannya semua akan berakhir indah dan damai. Tidak menjadi bahan pelintiran sana-sini.

Salah satu peristiwa yang menjadi sorotan publik adalah tindakan menonaktifkan kepala sekolah dan tiga guru. Berbekal aduan orangtua, rekaman CCTV, tiba-tiba tiga guru dan kepala sekolah seolah-oleh sudah menjadi terdakwa. Wajar jika beberapa kalangan pendidik menyayangkan tindakan ini.

"Setelah guru diberi sanksi, citra pendidikan menjadi buruk. Guru takut melahirkan hal-hal yang sifatnya baru. Ada trauma dialami para pendidik. Pertanyaannya setelah adanya sanksi itu, apakah si anak menjadi lebih baik?" ungkap Heru Wahyu Kismoyo, seorang dosen Filsafat Mataram di Universitas Widya Mataram.

Konon, kasus dugaan pemaksaan jilbab ini menimbulkan trauma pada siswi. Ini belum ada pernyataan ahli --misalnya psikiater atau psikolog, yang menegakkan pemeriksaan kepada siswi yang bersangkutan. Bahwa trauma benar-benar muncul karena paksaan berjilbab.

Ternyata Heru Wahyu Kismoyo mengungkapkan peluang terjadinya trauma pada guru. Apakah ini akan diabaikan begitu saja?

Saya membayangkan kejadian-kejadian yang mungkin saja muncul di masa yang akan datang. Guru-guru dan kepala sekolah ketakutan dituduh intoleransi. Pengajaran agama menjadi momok yang ditakuti. Meluas dan melebar, orangtua di rumah tak berani menyuruh anaknya menjalankan ajaran agama.

Saya membayangkan kejadian-kejadian seperti ini. Semoga tidak terjadi.

Misalnya ada guru sekolah negeri mengajari anak untuk menjalankan shalat. Anak-anak ini beragama Islam. Lalu di kelas, guru melatih gerakan shalat. Ada bukti di CCTV bahwa guru mengajarkan shalat.

Andai ada seorang anak tidak mau diajari shalat. Sesampai di rumah ia mengadu kepada orangtuanya bahwa ia dipaksa shalat. Orangtua marah dan menulis surat, berisi protes kepada sekolah yang memaksa murid untuk shalat. Ini dituduh tindakan intoleransi. Lalu kepala sekolah dan guru dinonaktifkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline