Lihat ke Halaman Asli

Cahyadi Takariawan

TERVERIFIKASI

Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Mengapa Mudik Itu Asyik?

Diperbarui: 3 Mei 2022   20:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

mudik, dokpri

Pada umumnya, manusia itu suka keramaian. Saat kita tinggal di komplek perumahan yang sepi, karena sebagian besar tetangga mudik ke kampung halaman masing-masing, kita merasa kesepian dan tidak nyaman.

Mencari makanan pun tak gampang. Warung belum banyak yang buka, pengemudi online belum banyak yang tersedia, rasanya hidup menjadi terisolasi. Saat ke masjid, jamaah cuma sedikit. Mayoritas sedang mudik atau libur lebaran keluar kota bersama keluarga. Bahkan ada masjid komplek perumahan yang tutup selama mudik karena tak ada lagi jamaah.

Kesepian adalah musuh manusia yang mematikan. Kita senang dengan kebersamaan. Kita menikmati berada dalam komunitas yang saling mensupport satu sama lain.

Coba bayangkan. Jika Anda mengunjungi tempat wisata, dan di sana tidak ada siapa-siapa. Hanya Anda bersama keluarga. Tak ada pengunjung lainnya. Tak ada penjual, tak ada keramaian. Apakah Anda bahagia di dalamnya?

Jika Anda melintas di jalan raya, dan tak ada pengendara lainnya. Tak ada kendaraan yang searah dengan perjalanan Anda. Tak ada pula yang berlawanan arah dengan Anda. Jalan raya seperti milik Anda. Apakah Anda bahagia di jalan sepi sendiri? Anda akan diserang kantuk, kebosanan bahkan ketakutan. Terlebih saat malam.

Jadi, mudik itu asyik. Meskipun kita tahu jalanan akan padat. Di beberapa titik terjadi kemacetan. Mungkin saja macet parah. Namun kita merasa asyik saat melihat banyak kendaraan, banyak keramaian, banyak yang sama-sama menuju kampung halaman.

Di kampung halaman, Anda akan bertemu banyak orang. Bertemu orangtua, saudara, sanak kerabat, sahabat lama, dan warga masyarakat di kampung kelahiran. Anda bahagia saat bertemu banyak manusia. Anda justru sedih saat pulang ke kampung halaman tidak menjumpai siapapun.

Mudik itu tak tergantikan dengan momentum pertemuan lainnya. Kita bisa bertemu saat menghadiri pesta pernikahan saudara, namun suasananya berbeda dengan lebaran. Kita mengawali dengan puasa Ramadan sebulan lamanya. Kita berjuang meraih derajat takwa. Setelah lebaran, kita ingin mengabarkan kebahagiaan kepada keluarga besar dan sanak kerabat lainnya.

Ada cuti bersama, ada suasana yang terbangun secara sama, bahwa kita berada dalam Idul Fitri. Hati menjadi pemaaf, jiwa menjadi lapang, pikiran menjadi terang---setelah ditempa Ramadan. Ini tak ada dalam momentum lainnya. Hanya pada saat mudik lebaran.

Biayanya memang cukup mahal, terutama bagi keluarga besar dengan jarak mudik yang terentang sangat panjang. Ratusan kilometer menuju pulang kampung. Sungguh suasana yang selalu dirindukan, meski dalam kondisi tak ada dana dan sarana.

Karena mudik memang asyik.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline