Jiwa yang agung, adalah jiwa yang selalu bergantung kepada Dzat Yang Maha Agung. Mereka tidak bergantung kepada makhluk, tidak bergantung kepada materi, tidak bergantung kepada kekuasaan maupun jabatan. Kegembiraannya, kesedihannya, semangatnya, kesungguhannya, semua untuk dan karena Dzat Yang Maha Mulia. Bukan untuk dan karena manusia.
Sedangkan jiwa yang kerdil, adalah jiwa yang tertutup dari kebenaran dan kebaikan hakiki, karena selalu berorientasi duniawi. Mereka bergantung kepada materi, jabatan dan posisi.
Kegembiraannya, kesedihannya, semangatnya, kesungguhannya, semua untuk dan karena manusia. Karena mengejar materi, karena mengejar posisi, karena mengejar reputasi, karena ambisi popularitas dan pujian manusia. Kegembiraannya, kesedihannya, semangatnya, kesungguhannya, semua untuk dan karena manusia semata.
Tiga Karakter Jiwa Besar
Gambaran jiwa besar, diantaranya tampak dalam hadits Nabi Saw: "Harta tidak akan berkurang karena sedekah. Tidaklah seorang hamba memberikan maaf (terhadap kesalahan orang lain) melainkan Allah pasti akan menambahkan kemuliaan pada dirinya. Dan tidaklah seorang pun yang bersikap rendah hati (tawadhu') karena Allah melainkan pasti akan diangkat derajatnya oleh Allah" (HR. Muslim).
Dari hadits di atas, kita dapatkan tiga karakter manusia yang berjiwa besar. Pertama, manusia yang berjiwa besar akan mudah bersedekah. Mereka yakin, sedekah akan menambah keberkahan pada harta.
Bagi mereka, kebahagiaan adalah dengan banyak berbagi. Manusia berjiwa kerdil akan bersikap pelit, mereka menganggap bersedekah berarti mengurangi harta kekayaan mereka. Bagi mereka, bahagia adalah dengan menumpuk banyak materi.
Kedua, manusia berjiwa besar sangat mudah memaafkan kesalahan orang lain, tidak pendendam. Mereka yakin bahwa dengan memaafkan kesalahan orang lain, maka Allah akan memuliakan mereka.
Bagi mereka, memaafkan adalah kemuliaan. Manusia berjiwa kerdil menganggap memaafkan adalah perbuatan orang kalah dan merendahkan martabat. Bagi mereka, memaafkan akan membuat mereka tampak lemah dan tak berdaya.
Imam Ahmad bin Hambal pernah mengalami siksaan yang hebat dalam penjara. Saat itu penguasa memaksa Imam Ahmad mengatakan "Al Quran adalah makhluk", padahal Al Quran bukan makhluk akan tetapi kalam Allah. Beliau marah bukan untuk hawa nafsunya, akan tetapi marah karena adanya pelecehan terhadap kalam Allah Ta'ala.