"Bersabar terhadap kata-kata menyakitkan dari istri adalah salah satu cobaan para wali" --Imam Abu Hamid Al-Ghazali.
Perempuan itu nyerocos tiada henti di ruang konseling. Ia menceritakan suaminya yang berperangai sangat buruk. Suami yang sudah "kehilangan akal" karena dulu di masa muda terlalu banyak menggunakan narkoba dan minuman keras. Di masa tua, menjadi tidak mampu mengendalikan diri.
Sang suami tidak memberikan nafkah wajib kepada istri dan anak-anak, karena tidak bekerja. Istri harus bekerja keras demi menghidupi anak. Yang dilakukan suami bukan support terhadap usaha istri, namun justru mengggunakan uang istri dengan semena-mena.
Ujung cerita --mungkin Anda menduga ia akan minta cerai dari suami. Mungkin Anda menduga ia akan lari dari rumah suami; atau kisah-kisah serupa dengan itu. Ternyata tidak. Perempuan itu bahkan tidak pernah berpikir untuk meminta cerai atau meninggalkan suaminya.
"Kamu punya hak untuk meminta cerai dari suami", demikian nasihat salah seorang kerabat dekatnya. "Kamu telah dizalimi. Kamu selalu disakiti", demikian alasan yang dikemukakan kerabat dekat tersebut.
"Lalu mengapa Anda tidak menggugat cerai?" tanya konselor di ruang konseling.
"Berpikir untuk menggugat cerai saja, saya tidak pernah", jawabnya. "Semua sudah terlanjur. Kami sudah sama-sama tua. Ibarat menyeberang sungai, saya sudah terlanjur basah kuyup. Apa iya harus kembali?" lanjutnya.
"Saya memilih untuk meneruskan menyeberang. Semoga sampai di seberang dengan selamat", lanjutnya.
"Lagi pula, jika saya tinggalkan dia, siapa yang akan mau mengurusnya? Semua keluarga sudah menjauh darinya. Tak ada keluarga mau mengurusi dia --karena ulah dan kelakuan buruknya selama ini", sambung perempuan itu lagi.
"Saya masih bisa mengingatkan dia untuk shalat. Saya masih bisa menemani dia untuk puasa Ramadhan. Jika tidak saya temani, ia tidak shalat dan tidak puasa Ramadhan. Dosa dia akan semakin banyak", tambahnya.