Media sosial mudah membuat berbagai aktivitas privat menjadi konsumsi publik. Berbagai peristiwa yang sebenarnya biasa saja, bisa viral akhirnya berubah menjadi luar biasa. Terkadang menimbulkan dampak penasaran berlebihan, kekhawatiran berlebihan, ketakutan berlebihan, yang semata-mata didasarkan pada sejumlah informasi yang bertubi-tubi memenuhi ruang chatting warga dunia maya. Inilah konsekuensi dan dampak perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang terlampau cepat, lebih cepat dari kemampuan kita mencerna semua berita dan peristiwa yang disuguhkannya.
Salah satu yang kebablasan belakangan ini adalah tuduhan "pelakor". Kata ini kembali mencuat saat unggahan video kemarahan seorang perempuan yang menuduh perempuan lainnya sebagai pelakor, bermunculan di berbagai media. Bahkan sampai dibuatkan sangat banyak meme dan parodi yang menirukannya. Secara selintas, parodi tersebut menjadi lucu, karena dikemas dengan aneka bumbu. Namun esensinya, penyebaran video tersebut di berbagai media sosial telah menimbulkan sejumlah kekhawatiran berlebihan tentang berkeliarannya para pelakor di sekitar kehidupan keluarga kita.
Benarkah kekhawatiran itu? Perlukah kita cemas dan takut terhadap para pelakor? Emangnya siapa pelakor itu?
Jangan Ada Pelakor di Antara Kita
Dalam kata pelakor, terkandung sebuah tuduhan yang keji. Betapa tidak. Saat kata itu ditudingkan kepada seseorang ---perebut laki orang--- bukanlah hasil dari sebuah pengadilan atau persidangan. Itu adalah istilah sarkasme yang bisa mematikan atau membunuh karakter seseorang yang belum tentu bersalah. Sebuah istilah yang secara emosional bisa mengenai banyak kalangan tanpa mengetahui proses dan kejadian yang sesungguhnya. Tertuduh pelakor pastilah memiliki nilai negatif, salah, jahat, dosa, dan yang semacamnya, padahal belum ada kejelasan tentang duduk perkara sesungguhnya. Tuduhan itu sekaligus meniadakan asas praduga tak bersalah.
Sangat berbeda dengan istilah korupsi. Dalam istilah korupsi, terkandung sebuah gambaran kejadian yang mudah dipahami. Bahwa seseorang menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki untuk mengambil uang, barang atau fasilitas yang bukan haknya. Atau lebih sederhana lagi, seseorang mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Paling tidak ada tiga pihak yang berada dalam perbuatan korupsi. Pertama orang yang melakukan korupsi, disebut koruptor. Kedua, uang, barang atau fasilitas yang diambil oleh koruptor. Ketiga, pemilik dari uang, barang atau fasilitas tersebut. Pemilik ini bisa berupa orang, lembaga atau bahkan negara.
Sebagai contoh, seorang lelaki bernama A, staf di perusahaan XY, mengambil dan menggunakan uang perusahaan sejumlah Rp, untuk kepentingan pribadinya. Dalam contoh ini, si A berlaku salah dengan mengambil dan menggunakan uang sejumlah Rp milik perusahaan XY. Terjadinya tindak korupsi ini ---menurut teori Kepolisian--- disebabkan oleh karena ada niat pelaku dan ada kesempatan. Perusahaan XY menjadi pihak yang dirugikan oleh perbuatan si A. Uang sejumlah Rp tersebut bersifat pasif dan statis, karena berupa benda tak hidup. Ia diam saja saat diambil oleh A. Ia tidak protes ketika digunakan oleh A untuk kepentingan pribadinya.
Nah, dalam kata pelakor, memiliki dimensi yang sangat kompleks, sekaligus meniadakan sisi etika. Anggaplah memang ada pelakor, maka dalam perbuatan merebut suami orang ini, juga ada tiga pihak yang berada di dalamnya. Pertama adalah perempuan pelaku tindakan merebut laki orang, disebut pelakor. Kedua, lelaki yang menjadi suami orang. Ketiga, istri dari suami yang direbut oleh pelakor. Kita lihat dalam konteks ini, tiga-tiganya adalah manusia. Pihak pertama adalah manusia, pihak kedua adalah manusia, pihak ketiga juga manusia. Semuanya manusia.
Misalnya, seorang perempuan bernama P, merebut seorang lelaki bernama L, yang menjadi suami dari seorang istri bernama I. Si P dituduh sebagai pelakor, karena merebut L dari I. Peristiwa "merebut" suami orang, menjadi sesuatu yang sangat rumit dan sulit untuk dibayangkan teknis kejadiannya. Misalnya kita pertanyakan detail kejadian perebutan tersebut. Pertama, kapan P merebut L dari si I ? Kedua, saat P merebut L, apakah si L diam saja dan tidak berontak ? Ketiga, apakah yang dilakukan oleh si I saat terjadinya peristiwa perebutan itu ? Apakah si I diam saja, membiarkan L direbut ? Atau bahkan I tidak tahu bahwa si L sudah direbut P ?
Inilah absurditas tuduhan pelakor. Karena yang direbut itu manusia, seorang lelaki dewasa yang bisa memutuskan apakah dirinya mau direbut atau tidak. Yang direbut bukanlah benda tak bernyawa, yang hanya bisa diam pasif tanpa ada perlawanan dan pemberontakan. Si L mungkin bahkan memiliki fisik yang kuat dan kekar, yang akan bisa mempertahankan diri saat P datang untuk merebut dirinya. Atau, jangan-jangan, si L justru menggoda P untuk merebut dirinya, dan menyodor-nyodorkan dirinya untuk direbut oleh P. Jika demikian, masih layakkah P disebut sebagai pelakor ?
Nah, sangat rumit untuk memahami adanya tindakan merebut suami orang. Sangat keji untuk menuduh seorang perempuan sebagai pelakor, padahal kejadian yang sesungguhnya belum tentu seperti yang tampak dalam tuduhan tersebut. Oleh karena itulah, saya cenderung menganggap bahwa sesungguhnya tidak ada pelakor di sekitar kita. Jika tidak ada, lalu apa yang ada di sekitar kita ?