Lihat ke Halaman Asli

Cahyadi Takariawan

TERVERIFIKASI

Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Pernikahan Sederhana Membuat Langgeng dan Bahagia

Diperbarui: 18 April 2016   10:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: fashionexprez.com"][/caption]Dalam kehidupan kita saat ini, sangat banyak dijumpai pesta pernikahan yang mewah dan mahal, bahkan kadang tampak berlebih-lebihan. Ada yang melakukannya atas dasar kemampuan, karena memang berasal dari keluarga kaya, namun ada pula yang melakukan semata-mata karena gengsi atau memenuhi standar kelayakan terkait dengan adat dan status sosial di tengah masyarakat.

Sampai dengan hari ini, di beberapa daerah saya masih sering mendengar banyaknya pemuda yang terpaksa menunda menikah karena mahalnya biaya “adat” dalam pernikahan.

Kadang seorang lelaki telah bersusah payah mengumpulkan uang untuk biaya pernikahan. Namun karena mahal dan rumitnya proses pernikahan berdasarkan adat setempat, terpaksa pernikahan belum bisa dilaksanakan karena uang yang dimiliki belum mencukupi untuk memenuhi semua tuntutan adat tersebut.

Di beberapa daerah bahkan masih ada adat yang memberikan tarif harga tertentu untuk laki-laki atau untuk perempuan, berdasarkan kriteria tertentu yang berlaku secara turun temurun. Misalnya, berdasarkan status sosial orang tuanya, atau berdasarkan jenjang pendidikannya.

Prosesi dan persyaratan adat yang menyulitkan seperti ini, sesungguhnya tidak sesuai dengan perkembangan zaman saat ini, dan terlebih lagi tidak sesuai dengan semangat ajaran agama. Dalam ajaran agama Islam, pernikahan itu dibuat simpel dan sederhana.

Kendati ada prosesi dan syarat, namun semua tidak ada yang menyulitkan. Pada dasarnya, agama menghendaki agar pernikahan bisa terjadi dengan sakral dan bertanggung jawab, namun mudah dan sederhana dalam pelaksanaan.

Mempermudah Mahar

Salah satu contoh ajaran agama yang mempermudah pelaksanaan pernikahan adalah dalam urusan mahar atau maskawin. Ajaran agama menghendaki agar mahar tidak sampai menjadi beban dan membuat kesulitan dalam penunaiannya. Mahar hendaknya diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sesuai dengan kesanggupan dan kemampuannya. Nabi saw telah bersabda, “Sungguh sebaik-baik kaum perempuan adalah yang paling ringan tuntutan maharnya” (HR. Ibnu Hibban). Beliau juga pernah bersabda, "Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan".

Hal ini menunjukkan, agama tidak menginginkan adanya kesulitan dalam proses pernikahan. Umar bin Khathab pernah berpesan, “Janganlah berlebihan dalam memberikan mahar kepada perempuan, sebab Rasulullah saw menikah dan menikahkan putrinya tidak lebih dari mahar empat ratus dirham. Seandainya meninggikan nilai mahar ada manfaat bagi kemuliaan perempuan di dunia atau menambah ketakwaannya, tentu Rasulullah saw adalah orang yang pertama kali melakukannya”.

Beberapa riwayat menunjukkan, bahwa Nabi Saw memberikan mahar sebesar empat ribu dirham atau senilai dengan empat ratus dinar kepada istri beliau (Riwayat An-Nasa’i). Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa mahar Nabi saw kepada istrinya adalah lima ratus dirham (Riwayat Muslim). Di zaman itu, ada sahabat Nabi yang memberikan mahar kepada istrinya senilai seratus ribu dirham (Riwayat Abu Dawud). Ada contoh lain, mahar berupa emas sebesar biji kurma (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Nabi Saw juga pernah menikahkan seorang lelaki fakir yang tidak memiliki harta, dengan mahar berupa hafalan Al Qur’an (Riwayat Bukhari dan Muslim). Ketika Ali menikah dengan Fatimah, maharnya baju besi yang biasa digunakan untuk berperang (Riwayat Nasa’i). Seorang perempuan dari Banu Fazarah dinikahi seorang lelaki dengan mahar sepasang alas kaki (Riwayat At-Tirmidzi).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline