Lihat ke Halaman Asli

Cahyadi Takariawan

TERVERIFIKASI

Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Setelah Menikah: Bukan Kau, Bukan Aku, Tapi Kita

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1428419255155118965

[caption id="attachment_408516" align="aligncenter" width="236" caption="ilustrasi : www.pinterest.com"][/caption]

“Ayo kita tidur Dek...”

“Ayo kita makan Bang....”

“Besok kita pergi kemana Dek?”

“Ini masalah kita Bang....”

Itulah bahasa keluarga yang penuh cinta. Penuh kosa kata “kita”. Bukan lagi “kau”, bukan lagi “aku”, walaupun tetap ada “kau” dan tetap ada “aku”. Namun akan lebih banyak “kita”. Menikah adalah proses penyatuan kimia, fisika dan biologi dari dua anak manusia yang saling mencinta. Penyatuan pemikiran dan perasaan dari dua insan yang saling tertambat jiwanya.

Pernikahan telah menyatukan bukan saja tubuh dua insan –laki-laki dan perempuan, namun pernikahan telah menyatukan dua cinta, dua cita-cita, dua hati, dua perasaan, dua visi, dua otak, bahkan dua jiwa yang berbeda. Suami dan isteri berkolaborasi dalam kehidupan keluarga, dengan ikatan cinta kasih yang tulus, untuk menempuh kehidupan dalam kebersamaan. Keluarga telah meleburkan suami dan isteri dalam sebuah ikatan yang sangat kuat –tidak ada ikatan sekuat dan sehangat ikatan yang muncul dalam pernikahan.

Kau dan Aku Menjadi Kita

Dalam pernikahan, konsep “kau” dan “aku” telah menyatu menjadi “kita”, dengan peran dan kodrat masing-masing. Inilah cinta itu. CInta kita. Keluarga kita. Anak kita. Rumah kita. Motor kita. Handphone kita. Gadget kita. Bukan lagi egois dengan ke-aku-an masing-masing.

Perhatikan kalimat “kau” dan “aku” pada empat contoh kalimat berikut ini.

“Jangan ganggu aku lagi. Aku gak mau lagi kau sakiti”.

“Mengapa kau selalu membuat masalah? Tidak adakah yang bisa kau lakukan selain membuat masalah?”

“Kau selalu mengeluh saja. Apa masalahmu bisa selesai dengan mengeluh?”

“Aku ingin tidur. Aku sangat lelah. Jangan ganggu aku dengan masalahmu”.

Pada kalimat di atas, kesan ego masih sangat tinggi. Suami dan istri belum menjadi satu bagian, belum memiliki satu jiwa, masih berdiri masing-masing. Ada aku di sini, ada kau di sana. Kau dan aku masih menjadi dua ego yang bertahan dan bersikukuh dengan ke-aku-an sendiri-sendiri.

Bagaimana mengubahnya menjadi “kita”?

Perhatikan contoh kalimat pertama. “Jangan ganggu aku lagi. Aku gak mau lagi kau sakiti”. Di sini ada “aku” yang sangat mandiri.

Akan lebih nyaman bila menyatu menjadi kita, seperti ini: “Ayo kita duduk berdua, menyatukan hati dan perasaan kita. Aku merasa sakit hati, tapi aku yakin kita bisa menyelesaikannya”. Dalam kalimat ini, dari aku sudah mulai menjadi kita, pada contoh kasus yang sama dengan kalimat pertama.

Sekarang perhatikan contoh kalimat kedua. “Mengapa kau selalu membuat masalah? Tidak adakah yang bisa kau lakukan selain membuat masalah?” Di sini ada “kau” yang selalu disalahkan.

Akan lebih nyaman bila ungkapannya meng-kita, seperti ini: “Setiap hari kita menghadapi masalah baru. Mungkin saja engkau tengah menghadapi problem yang berat saat ini, namun yakinlah masalah itu akan bisa kita atasi bersama”. Pada kalimat ini, tidak menuding “kau” sebagai penyebab masalah.

Perhatikan contoh kalimat ketiga. “Kau selalu mengeluh saja. Apa masalahmu bisa selesai dengan mengeluh?” Di sini ada “kau” yang dituduh selalu mengeluh. Tentu “kau” menjadi sangat tidak nyaman, karena si “aku” seakan-akan tidak memiliki kesalahan sama sekali.

Tentu akan lebih nyaman jika dingungkapkan dengan kita, seperti ini: “Kita memang sedang menghadapi cobaan. Namun kita harus bersabar, karena mengeluh tidak akan bisa menyelesaikan masalah. Ayo kita coba mencari jalan keluar”.

Perhatikan contoh kalimat keempat. “Aku ingin tidur. Aku sangat lelah. Jangan ganggu aku dengan masalahmu”. Di sini ada “aku” yang minta dimengerti dan dihormati haknya. Seakan-akan “kau” tidak lelah dan tidak perlu tidur.

Akan lebih nyaman bila diungkapkan dengan meng-kita, seperti ini: “Sekarang sudah larut malam. Kita berdua lelah, sudah beraktivitas seharian. Sebaiknya kita tidur saja untuk istirahat. Besok kita baru bisa membahas masalah, setelah pikiran kita segar”.

Dengan penggunaan kata “kita” untuk mengganti “kau” dan “aku” pada beberapa contoh kalimat di atas, terasa ada kebersamaan yang kuat antara suami dan istri. Bahwa hidup berumah tangga itu penuh dengan dinamika, selalu ada masalah, cobaan, gangguan dan tantangan. Namun yang paling penting adalah sikap suami dan istri yang berada pada posisi yang sama. Mereka menyatakan “ini masalah kita” dan “kita hadapi bersama”.

Mereka tidak mengambil jarak saat menghadapi masalah. Keduanya berdiri berseberangan, saling menuding, saling menuduh, dan membangun benteng. Masing-masing merasa tidak memiliki masalah, dan berlepas diri dari masalah yang timbul dalam keluarga.

“Ini masalahmu, bukan masalahku”.

“Engkau yang membuat masalah ini, maka engkau sendiri yang harus bertanggung jawab menyelesaikan masalahmu”.

“Jangan libatkan aku. Engkau yang membuat masalah”.

Kau dan aku pada contoh tersebut terasa sangat sombong, asing, angkuh, dan tidak memiliki perasaan kebersamaan. Bahwa masalah keluarga pasti ada andil dari kedua belah pihak. Tidak muncul semata-mata dari satu pihak saja. Tentu saja suami dan istri harus menyadari itu.

Maka hendaknya suami dan istri selalu belajar untuk meleburkan konsep “kau” dan “aku” menjadi “kita”, walaupun tetap ada “kau” dan “aku” sebagai pribadi. Namun mereka telah menjadi satu jiwa baru. Menjadi jiwa “kita” yang terdiri dari “kau” dan “aku”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline