[caption id="attachment_407496" align="aligncenter" width="550" caption="Ilustrasi : www.becomingminimalist.com"][/caption]
Istri: Aku sangat menyesal dengan kondisi ekonomi kita saat ini. Mengapa Abang tidak bilang dari dulu kalau Abang semiskin ini?
Suami: Sebenarnya dari dulu aku sudah sering bilang, Dek… Tapi kamu tidak mempedulikannya....
Istri: Oh ya? Emang dulu Abang bilang apa?
Suami: Aku sering bilang, ‘Sayang, hanya kamu satu-satunya yang aku miliki dan aku punya di dunia ini..’ Eh, kamu malah menjawab ‘so sweet….’
Hmmmmmh.. Dalam kehidupan keluarga, mungkin saja kita mengalami kekurangan harta. Mungkin saja ada masa-masa sulit di mana kita mengalami krisis keuangan. Itulah fluktuasi dan dinamika berumah tangga. Kadang berada dalam suasana lapang dari segi keuangan, ada kalanya demikian berat dirasakan.
Faktor Ekonomi sebagai Penyebab Perceraian
Sangat disayangkan, banyak keluarga yang harus berakhir dengan perceraian disebabkan oleh karena persoalan ekonomi. Mereka tidak bisa bersikap secara tepat dan bijak tatkala dihadapkan pada persoalan ekonomi. Beberapa cuplikan media online berikut ini cukup jelas menggambarkan, bahwa masalah ekonomi masih menjadi faktor utama yang memicu terjadinya perceraian di Indonesia.
SINDONEWS.COM, JAKARTA - Angka perceraian di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, Indonesia menempati angka tertinggi se-Asia Pasifik soal permasalahan tersebut. Pengamat sosial budaya Universitas Indonesia (UI) Devie Rachmawati mengatakan, ada empat faktor yang menyebabkan masyarakat Indonesia bercerai.
"Beberapa faktor penyebab terjadinya perceraian yaitu, faktor ekonomi, faktor psikologis untuk pasangan nikah dini, susahnya mencari tempat berkeluh kesah soal masalah pernikahan di kota besar dan terakhir artis mencontohkan kawin cerai," kata dia saat dihubungi Sindonews, Selasa 12 Agustus 2014.
Devie menjelaskan, untuk faktor ekonomi hampir setiap pasangan pernah mengalami masa krisis ekonomi dalam keluarga. Pekerjaan yang tak tetap penghasilan yang minim membuat kebutuhan keluarga tak bisa dipenuhi. "Akibatnya keharmonisan dalam pernikahan juga terguncang," katanya.
1.Studi Kasus Kabupaten Malang
TEMPO.CO, MALANG - Sebanyak 7.354 pasangan suami-istri di Kabupaten Malang bercerai pada tahun 2012 lalu. Temuan itu disampaikan Unggul Hudoyo, peneliti Badan Pelayanan Bantuan Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (BPBH UMM). Rentang usia pasangan suami-istri yang sudah bercerai atau sedang menggugat di Pengadilan Agama antara 30-40 tahun.
Dari hasil penelitian diketahui, mayoritas perceraian dipicu masalah perekonomian, hubungan tak harmonis karena pasutri terpisah jarak jauh, serta perselingkuhan. Perceraian karena masalah perekonomian banyak dialami pasangan suami-istri ekonomi lemah. Kasus perceraian karena hubungan tak harmonis didominasi pasangan yang salah satu pasangannya bekerja sebagai tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
2.Studi Kasus Kota Malang
TRIBUNNEWS.COM, MALANG – Angka perceraian di Kota Malang pada tahun 2013 ini terbilang tinggi. Bahkan, sampai akhir September, sudah terdapat 1.591 kasus perceraian. Kepala Humas PA Kota Malang, Munasik, mengatakan, dari total angka perceraian itu, ada kasus cerai gugat sebanyak 1.110 perkara, dan cerai talak sebanyak 481 perkara. Ia menjelaskan, perkara cerai tersebut kebanyakan alasan ekonomi. Menurutnya, banyak istri yang menggugat cerai suaminya karena sudah tidak mendapatkan nafkah ekonomi dari suami.
Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Masyarakat (BKBPM) Kota Malang, Atfiah El Zam-Zami, menyebutkan peningkatan jumlah perceraian dan permohonan dispensasi kawin dipicu oleh masalah perekonomian. Menurutnya, keluarga dengan pendapatan yang kurang, ataupun keuangan yang tidak transparan memicu munculnya percekcokan dan berujung dengan perceraian.
3.Studi Kasus Kabupaten Natuna
TRIBUNNEWSBATAM.COM, NATUNA - Angka perceraian di Kabupaten Natuna tergolong tinggi. Hal tersebut diungkapkan Wakil Panitera Pengadilan Agama, Ranai, Nasarudin, Selasa (10/2/2015).
"Kalau dilihat dari jumlah penduduk dan kasus yang terjadi tiap tahunnya, jumlah perceraian tergolong tinggi. Gugatan oleh istri yang lebih banyak, kasusnya memang diawali pertengkaran. Penyebabnya kalau tidak faktor ekonomi kemudian adanya orang ketiga dalam rumah tangga," ujar Nasarudin.
4.Studi Kasus Indramayu
PIKIRAN-RAKYAT.COM, INDRAMAYU - Persoalan ekonomi masih menjadi faktor dominan penyebab perceraian di Kabupaten Indramayu. Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu mencatat sebanyak 6.814 kasus perceraian dari total kasus sebanyak 7.385 pada tahun 2014 terjadi karena faktor ekonomi.
Kepala Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu Anis Fuadz melalui Kepala Bagian Humas PA Kabupaten Indramayu, Ucu Sukirno mengatakan, definisi penyebab ekonomi terkait dengan ketidakmampuan kepala keluarga memberikan nafkah, sehingga mengakibatkan timbulnya gugatan cerai. Menurutnya, persoalan ekonomi sangat berkaitan erat dengan kestabilan keluarga.
"Pada intinya, faktor ekonomi mencerminkan keadaan yang kurang dalam sebuah keluarga, sehingga menimbulkan keinginan untuk bercerai. Namun perlu dicatat, bahwa penyebab ekonomi tidak melulu diartikan sebagai persoalan tingkat pendapatan," ujarnya, Minggu (8/2/2015).
5.Studi Kasus Kabupaten Banyumas
SUARAMERDEKA.COM, PURWOKERTO - Angka perceraian pasangan suami-istri di Kabupaten Banyumas tergolong tinggi. Data Pengadilan Agama (PA) Purwokerto hingga November lalu tercatat sebanyak 2.365 perkara perceraian yang telah diputus.
Menurut Wakil Panitera PA Purwokerto, Mokhamad Farid, kasus perceraian yang ditangani didominasi gugat cerai. Gugat cerai tercatat sebanyak 1.658 kasus, sedangkan cerai talak sebanyak 707 kasus. Dari seluruh kasus perceraian yang ditangani, sebagian besar dari pihak wanita yang mengajukan gugatan. Penyebab perceraian terbanyak dipicu karena faktor ekonomi.
6.Studi Kasus Kota Siantar dan Kabupaten Simalungun
METROSIANTAR.COM, SIMALUNGUN – Sebanyak 568 pasangan suami istri di Kota Siantar dan Kabupaten Simalungun bercerai tahun 2014 lalu. Faktor ekonomi menjadi penyebab utama perceraian. Mayoritas yang menggugat cerai adalah wanita.
“Kalau masalah penyebab perceraian itu sepertinya sama saja baik di Siantar maupun Simalungun. Selain karena faktor ekonomi, kurangnya tanggung jawab dan keharmonisan juga menjadi penyebab utama perceraian,” ucapnya.
Beberapa cuplikan media di atas dari berbagai wilayah di Indonesia di atas cukuplah menjadi perhatian bagi kita semua, bahwa persoalan ekonomi masih menjadi pemicu perceraian yang utama di Indonesia. Tentu saja ada sejumlah masalah lainnya, namun dalam postingan ini kita fokus pada satu faktor ini saja.
[caption id="attachment_407497" align="aligncenter" width="300" caption="ilustrasi : www.buzzle.com"]
[/caption]
Masalah Ekonomi, seperti Apakah?
Jika persoalan ekonomi dianggap menjadi faktor penyebab perceraian yang tinggi di Indonesia, maka pertanyaannya, seperti apakah masalah ekonomi itu? Apa sebenarnya yang dimaksud dengan masalah ekonomi? Mengapa bisa menjadi faktor pemicu perceraian tertinggi di Indonesia?
Sebagian orang beranggapan bahwa masalah ekonomi identik dengan ‘kekurangan uang’. Sebuah kondisi di mana keluarga tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup mereka dari yang paling dasar. Seperti tidak memiliki kecukupan ekonomi untuk makan, pakaian, tempat tinggal, biaya pendidikan, kesehatan, dan komunikasi. Anggapan ini ada benarnya, namun tidak sepenuhnya benar. Karena jika masalah ekonomi yang menjadi faktor perceraian hanyalah soal ‘kekurangan uang’, maka berarti cerai hanya terjadi pada keluarga miskin.
Padahal kenyataannya, banyak pula orang kaya yang berlebih hartanya, mengalami masalah dalam keluarga hingga berujung perceraian. Kadang hartanya melimpah, namun justru membuat suami dan istri melakukan penyimpangan karena kebanyakan harta. Suami dengan mudah bisa melakukan perselingkuhan atau ‘jajan’, demikian pula istri bisa dengan mudah melakukan perslingkuhan, karena didukung fasilitas dan kemapanan ekonomi.
Artinya, masalah ekonomi tentu saja bukan saja sekedar jenis ‘kekurangan uang’, namun bisa juga jenis ‘kebanyakan uang’. Dengan kata lain, tidak semata-mata karena jumlah uang yang mereka miliki yang menjadikan masalah dalam kehidupan keluarga, namun justru lebih kepada sikap terhadap realitas kondisi ekonomi. Sikap hidup jauh lebih penting dibandingkan dengan fasilitas hidup.
Orang yang berlimpah fasilitas hidupnya bisa jatuh ke dalam kehancuran karena sikap yang tidak tepat. Orang yang kekurangan fasilitas hidup tetap bisa merasakan kebahagiaan karena mampu bersikap secara tepat terhadap kekurangan yang dimilikinya. Faktor ekonomi yang menjadi penyebab perceraian, lebih banyak bercorak sikap, dibandingkan dengan semata-mata ketidakpunyaan materi. Jika sikap hidupnya selalu positif, seperti apa pun kondisi ekonominya, tidak perlu menimbulkan perceraian.
[caption id="attachment_407498" align="aligncenter" width="400" caption="ilustrasi : www.imgarcade.com"]
[/caption]
Sikap Bijak Menghadapi Masalah Ekonomi Keluarga
“Life is never flat”, begitu ungkapan banyak orang. Hidup berumah tangga tidak akan pernah rata. Kenyataannya, kadang mendaki, kadang datar, kadang menurun curam. Kadang melewati jalan lempang, kadang harus berliku-liku. Begitulah watak kehidupan berumah tangga. Aneka rasanya, tidak pernah satu rasa.
Persoalan ekonomi menjadi salah satu faktor yang telah terbukti menghancurkan kebahagiaan keluarga. Oleh karena itu, pasangan suami dan istri harus berusaha untuk menghadapi masalah ekonomi keluarga dengan sikap bijak dan tepat. Di antara sikap bijak dalam menghadapi persoalan ekonomi adalah sebagai berikut:
1.Bersikap Tenang
Menghadapi masalah apa pun dalam kehidupan, hendaknya disikapi dengan tenang. Sikap emosional atau terburu-buru bisa menimbulkan tindakan yang tidak tepat, sehingga justru menambah masalah baru. Tetaplah tenang saat menghadapi masalah ekonomi, jangan stres, jangan panik, jangan emosi. Selama hati dan pikiran tenang, akan bisa lebih jernih dalam usaha mencari solusi. Jika diliputi suasana kepanikan, akan bisa memunculkan keputusan yang membahayakan.
Ingatlah, sikap panik dan tegang tidak akan menghasilkan penyelesaian persoalan. Kekurangan ekonomi tidak bisa diselesaikan dengan sikap panik dan tegang. Maka hendaknya suami dan istri bersikap tenang, agar bisa berpikir jernih dan rasional. Dalam situasi tenang, jalan keluar yang diambil lebih bisa dipertanggungjawabkan.
2.Hadapi Bersama
Sikap pertama yang harus dimiliki oleh pasangan suami dan istri adalah menghadapi persoalan ekonomi secara bersama-sama. Suami dan istri harus berada dalam pihak yang sama saat menghadapi masalah ekonomi keluarga. Tidak boleh mengambil sikap sendiri-sendiri, karena persoalan itu adalah ‘milik’ bersama. Setelah menikah, suami dan istri harus menjadi satu tim yang kompak, termasuk dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan.
“Ini masalah kita”, itu sikap yang harus mereka miliki berdua. Oleh karena prinsip seperti itu, maka yang akan muncul adalah sikap “kita hadapi bersama”. Dengan demikian kedua belah pihak sama-sama merasa memiliki tanggung jawab untuk mencari solusi atas persoalan ekonomi keluarga, dengan porsi masing-masing.
3.Tidak Saling Menyalahkan
Sikap yang tidak tepat adalah ketika suami dan istri saling menyalahkan satu dengan yang lain atas masalah ekonomi tersebut. Istri merasa tertekan karena merasa tidak terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari, kemudian menyalahkan suami atas ketidakmampuannya memenuhi ekonomi keluarga. Demikian pula suami menyalahkan istri atas sikap istri yang tidak ‘nrimo’ dan ‘legowo’ atas kesulitan ekonomi yang dihadapi. Yang terjadi hanya pertengkaran dan semakin membuat rumit suasana di antara mereka.
Istri: Ini semua salah kamu. Laki-laki harusnya bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Tapi kamu malah kebanyakan tidur dan nganggur. Mau dikasih makan apa anak kita nanti?
Suami: Kamu yang salah. Sikapmu yang terlalu menuntut itu justru membuat aku stres. Aku jadi tidak bisa konsentrasi kerja.
Sikap saling menyalahkan semacam itu justru akan semakin membuat rumit persoalan keluarga. Selain masalah kesulitan ekonomi, mereka akan ditimpa masalah komunikasi yang tidak menyenangkan.
4.Cari Solusi Bersama
Sikap yang produktif adalah suami dan istri duduk berdua untuk membahas masalah ekonomi keluarga. Mereka harus mau terbuka dan berbincang untuk mencari solusi atas masalah ekonomi yang tengah dihadapi. Jika suami melangkah sendiri dan istri melangkah sendiri, bisa jadi akan semakin menambah daftar persoalan baru dalam urusan ekonomi.
Misalnya, karena merasa sangat terdesak akhirnya istri diam-diam mencari pinjaman kepada teman untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Jika ini berlangsung konsisten, maka akan menjadi tumpukan hutang yang semakin lama semakin banyak. Tidak mendapatkan solusi tetapi justru semakin terbebani oleh hutang-hutang konsumtif. Bukan berarti tidak boleh berhutang ketika kondisinya sangat mendesak, namun hendaknya jika terpaksa berhutang tetap dalam bingkai solusi yang disepakati berdua.
5.Sabar Menghadapi Kesulitan Hidup
Hendaknya suami dan istri mampu bersabar atas kesulitan ekonomi yang dihadapi. Tentu saja ini bukan hal mudah, karena kekurangan uang memang dampaknya sangat terasakan bagi semua pihak. Suami yang tidak punya uang akan mudah kalut, karena merasa gagal berperan sebagai kepala rumah tangga. Dampak lebih lanjutnya, perasaan gagal ini akan membentuk sikap yang hipersensitif pada diri suami, sehingga memunculkan suasana mudah tersinggung atas apa pun omongan istri.
Istri yang tidak punya uang akan mudah dihinggapi perasaan cemas dan sedih, karena merasa tidak bahagia. Kebutuhan dasarnya saja terancam, lalu bagaimana akan bisa merasakan kebahagiaan? Dampak lebih lanjutnya, istri mudah bersikap emosional dan uring-uringan, apalagi ketika melihat suami tampak tenang-tenang saja dan dianggap tidak melakukan usaha untuk memperbaiki kondisi ekonomi.
Suami dan istri harus mampu bersikap sabar di saat menghadapi kesulitan ekonomi. Sikap sabar ini akan menjadi salah satu faktor utama untuk menjaga keutuhan rumah tangga di saat mereka menghadapi kesulitan ekonomi.
6.Jangan Kehilangan CInta
Yang lebih penting lagi adalah, jangan kehilangan cinta kepada pasangan di saat menghadapi kekurangan ekonomi. Nikmati saja semua masalah dalam kehidupan keluarga, karena yang paling penting adalah suami-istri masih selalu memiliki cinta yang menyala. Jangan saling membenci di saat sedang tidak memiliki uang atau materi.
Uang bisa dicari, harta bisa diusahakan, yang penting suami-istri tetap menjaga cinta di antara mereka. Tetap kompak, walau kadang harus menderita karena kekurangan harta. Hati harus tetap bahagia, karena dalam kekurangan harta itu, ada cinta yang luar biasa besarnya.
Bahan Bacaan :
http://metro.sindonews.com/read/890610/31/empat-faktor-penyebab-perceraian-1407868216
http://www.metrosiantar.com/2015/02/05/177127/alasan-ekonomi-penyebab-utama-perceraian/
http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/faktor-ekonomi-penyebab-terbanyak/
http://www.pikiran-rakyat.com/node/315387
http://www.tempo.co/read/news/2013/02/23/173463137/Alasan-Ekonomi-Jadi-Penyebab-Utama-Perceraian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H