Lihat ke Halaman Asli

Cahyadi Takariawan

TERVERIFIKASI

Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Ingin Baik Kok Masuk Sekolah Favorit....

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1341789820902642417

[caption id="attachment_199537" align="aligncenter" width="577" caption="ilustrasi - http://www.luuux.com"][/caption]

“Saya sudah menyekolahkan anak di sekolah favorit dan berbiaya mahal, tapi ternyata masih tetap nakal”, ungkap seorang ibu mengeluhkan tentang kenakalan anaknya. Ia mencoba menghubungkan antara sekolah favorit yang biayanya mahal, dengan kenakalan anaknya. Pada saat yang sama, seakan ia merasa telah selesai mendidik anak dengan menyerahkan sepenuhnya “warna” anak itu kepada lembaga pendidikan favorit.

Setiap kali menghadapi kelulusan sekolah dan mempersiapkan sekolah selanjutnya, sangat banyak orang tua gelisah dengan pilihan sekolah untuk anaknya. Dimana akan menitipkan pendidikan anaknya yang akan membuat anak shalih, pandai, cerdas, memiliki karakter yang kuat, dan kelak menjadi manusia yang berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Sekolah telah menjadi tumpuan harapan untuk segala sesuatu kebaikan pada anak.

Orang tua rela mengeluarkan biaya mahal, demi kebaikan dan kesuksesan anak-anaknya.

(1)

Sejak zaman dulu, para filsuf dan pemikir telah meletakkan keluarga sebagai pondasi pendidikan. Bukan sekolah atau lembaga pendidikan, tetapi yang pertama dan utama dalah keluarga. Seorang ulama, Husain Muhammad Yusuf, mengajukan pertanyaan,  "Mengapa keluarga dapat dikatakan sebagai batu pertama untuk membangun negara?" Pertanyaan itu ia ajukan untuk mengawali pembahasan tentang posisi keluarga dalam negara. "Sebab sejauh mana keluarga dalam suatu negara memiliki kekuatan dan ditegakkan pada landasan nilai, maka sejauh itu pula negara tersebut memiliki kemuliaan dan gambaran moralitas dalam masyarakatnya", lanjutnya.

Tak bisa disangkal lagi bahwa pendidikan bermula dari rumah, bukan dari sekolah. Dalam perspektif Bobbi DePorter dan Mike Hernacki pada teori Quantum Learningnya, pembelajaran masa kecil di rumah adalah saat-saat yang amat menyenangkan. Mereka menyebut contoh belajar berjalan pada anak usia satu tahun. Kendati dengan tertatih dan berkali-kali jatuh, toh anak pada akhirnya mampu berjalan, tanpa merasa ada kegagalan, suatu hal yang amat berbeda dengan pembelajaran orang dewasa.

Pendidikan dalam keluarga adalah pondasi untuk mempersiapkan masa depan bangsa dan negara. Khalid Ahmad Asy-Syantuh menyebutkan, pendidikan merupakan sarana perombakan yang fundamental. "Sebab ia mampu merombak jiwa manusia dari akar-akarnya". Seluruh anggota keluarga harus mendapatkan sentuhan pendidikan untuk menghantarkan mereka menuju optimalisasi potensi, pengembangan kepribadian, peningkatan kapasitas diri menuju batas-batas kebaikan dan kesempurnaan dalam ukuran kemanusiaan.

(2)

Untuk tujuan apa kita mendidik anak-anak? Tujuan dari proses pendidikan, menurut Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, adalah untuk perwujudan diri, persiapan bagi kewarganegaraan yang baik, pertumbuhan yang menyeluruh dan terpadu, serta persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat.  Pendidikan dalam keluarga tengah menyiapkan anggotanya mencapai berbagai tujuan tersebut.

Muhammad Quthb menyebutkan tujuan pendidikan dengan ungkapan ringkas, "menjadi manusia yang baik".

(3)

Kapan dimulainya pendidikan untuk anak-anak kita? Glenn Doman pernah menuturkan kisah seorang ibu yang bertanya kepada ahli perkembangan anak tentang mulai kapan ia harus mulai mendidik anaknya. "Kapan anak  ibu akan lahir?" tanya sang ahli.

"Oh, anak saya telah berusia lima tahun sekarang" jawab ibu.

"Cepatlah ibu pulang. Anda telah menyia-nyiakan lima tahun yang paling baik dari hidup anak anda" kata sang ahli.

Kisah di atas diangkat dari pertanyaan: kapan mulai mengajar anak membaca? Apabila kita perluas, maka pendidikan anak dimulai bukan saja ketika bayi telah lahir, atau ketika masih dalam kandungan si ibu. Akan tetapi prosesi pendidikan itu telah dimulai sejak seorang laki-laki memilihkan calon ibu bagi calon anak-anaknya, dan ketika seorang wanita memilihkan calon bapak bagi calon anak-anaknya. Ikatan perkawinan merupakan awal mula terjadinya pendidikan, dan awal mula pendirian laboratorium peradaban.

Dengan demikian pendidikan telah dimulai dari awal, sejak pembinaan pribadi laki-laki dan perempuan yang akan melakukan pernikahan untuk membentuk sebuah keluarga. Pendidikan tidak dimulai ketika bayi telah lahir, atau ketika sudah saatnya sekolah. Sejak awal, calon ayah dan calon ibu telah mempersiapkan bekal yang baik bagi calon anak-anak yang diharapkan baik pula.

(4)

Jangan menunggu hasil pendidikan dari sekolah favorit. Jika menghendaki anak yang baik, harus dididik dengan baik sejak di rumah. Kalangan pendidikan menyatakan, pada lima tahun pertama dalam kehidupan anak, 90 % pendidikan sudah dapat dilakukan secara tuntas. Sejalan dengan itu adalah pernyataan ulama besar Ibnul Qayim al Jauzi bahwa pembinaan yang paling baik adalah di waktu kecil. Hal ini menuntut peran orang tua sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya, sebagai suatu kewajiban besar yang tak mungkin dihindarkan.

Boleh saja menyekolahkan anak di sekolah favorit, karena itu bagian dari usaha yang bisa kita lakukan. Namun jika ingin anak menjadi baik, didiklah dengan serius sejak di rumah. Jangan mengandalkan pendidikan anak hanya di sekolah, walau itu sekolah favorit. Jangan menganggap pendidikan anak sudah selesai hanya dengan membayar sekolah yang “bertarif mahal”.

Justru pendidikan harus dimulai dari keluarga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline