Lihat ke Halaman Asli

Cahyadi Takariawan

TERVERIFIKASI

Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Benarkah Lelaki Jarang Minta Maaf dan Perempuan Sering Mencela?

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13399918271173207361

[caption id="attachment_195439" align="aligncenter" width="320" caption="ilustrasi : kawanimut.com"][/caption] Nadia Felicia pernah menuliskan laporan di KOMPAS.com tentang sebuah penelitian yang dilangsungkan di Kanada untuk mencari tahu perbedaan antara lelaki dan perempuan dalam hal perasaan bersalah. Hasil eksperimen ini dilaporkan dalam jurnal Science tahun 2010 kemarin.Eksperimen yang melibatkan 66 relawan (lelaki dan perempuan) tersebut, selama 2 minggu merekam emosi mereka yang diasosiasikan dengan hubungan satu dan yang lain. Saat menganalisa hasilnya, para ahli menemukan bahwa dibandingkan dengan perempuan, lelaki jarang minta maaf dan mengaku bersalah dalam sebuah konflik. Perempuan, secara umum 35 persen kali lebih sering minta maaf ketimbang lelaki, dan kadang menggunakan kata "maaf" itu dalam sikap yang negatif. Namun, di penelitian tersebut juga, diketahui, para perempuan lebih kasar dan menggunakan lebih banyak kata-kata yang mencela, hal ini 30 persen lebih banyak dari lelaki. Hasil eksperimen ini menemukan bahwa lelaki lebih kebal dari hinaan dan celaan ketimbang perempuan. Reaksi lelaki saat mendapat serangan kasar ternyata pun lebih kalem ketimbang perempuan. Reaksi perempuan saat mendapat serangan atau celaan adalah dengan menangis, bahkan bila kata-kata kasar itu datang dari orang yang tak mereka kenal sekalipun. Para peneliti menekankan perbedaan dalam perasaan bersalah lelaki dan perempuan saat mereka berada dalam hubungan romantis. Perempuan lebih merasa takut untuk menyakiti pasangannya, hingga mereka meminta maaf lebih emosional ketimbang lelaki yang cenderung rasional dan logis dalam menilai sebuah permintaan maaf. Apakah Meminta Maaf Akan Merendahkan Diri? Hasil eksperimen di atas belum tentu bisa mewakili semua kondisi laki-laki maupun perempuan, karena ada konstruksi budaya yang berbeda di setiap daerah. Namun paling tidak, eksperimen tersebut bisa kita gunakan untuk melakukan evaluasi dan perbaikan relasi antara suami dengan isteri. Kalau kita perhatikan, relasi antara suami dengan isteri dalam kehidupan rumah tangga bercorak sangat khas dan spesifik. Tidak bisa disamakan dengan relasi antara boss dengan karyawan dalam perusahaan, tidak sama dengan relasi antara mitra kerja dalam suatu instansi. Suami dan isteri melibatkan ikatan yang sangat khusus, melibatkan ikatan hati, perasaan, dan pikiran. Ikatan visi hingga fisik, spiritual dan material, semua ada dalam keluarga. Studi di atas menunjukkan kecenderungan laki-laki lebih sulit untuk meminta maaf. Kadang muncul pikiran pada beberapa kalangan suami, mengapa mereka enggan meminta maaf kepada isteri, karena khawatir harga diri mereka akan hancur di hadapan isteri. Benarkah meminta maaf akan merendahkan martabat dan harga diri seseorang? Dalam kehidupan keluarga, pertanyaan seperti itu sangat absurd. Maaf dalam kehidupan keluarga adalah bahasa komunikasi, bahasa cinta, bahasa perasaan kasih dan sayang. Bukan bahasa hukum. Mungkin saja dalam dunia politik, kata maaf itu dianggap bisa merendahkan suatu pihak. Misalnya saja, pada pertikaian politik antara satu pihak dengan pihak lainnya, maka pihak yang meminta maaf akan merasa malu dan terjatuhkan wibawanya. Namun hal seperti ini tidak berlaku dalam kehidupan keluarga. Justru dalam jalinan kekeluargaan, siapa yang paling mudah meminta maaf adalah yang paling baik. Siapa yang paling mudah memaafkan adalah yang paling baik. Tidak ada gunanya memendam perasaan gengsi atau ego yang berlebihan, yang membuat seseorang tidak mau meminta maaf kepada pasangannya. Apakah Mencela itu Membahagiakan? Berikutnya, studi di atas menunjukkan bahwa perempuan lebih mudah mencela dibandingkan laki-laki. Mungkin saja ini dipicu oleh sifat perempuan yang ekspresif, banyak berbicara, karena struktur otak yang jalur majemuk. Sehingga segala yang dirasakan mudah untuk diekspresikan. Namun ada pertanyaan penting, apakah mencela itu membuat kita menjadi bahagia? Jika mencela membuat bahagia, saya kira kita harus banyak introspeksi, kenapa kebahagiaan kita muncul dari kelemahan atau kesalahan orang lain yang kita cela? Apalagi yang dicela adalah orang-orang tercinta, orang yang semestinya dihormati, dirawat, dikasihi dan disayangi. Mencela itu justru menjauhkan kita dari pasangan, membuat semakin tidak nyaman dalam berkomunikasi dan berinteraksi sehari-hari. Mencela itu justru menimbulkan penyesalan dan kesedihan, karena akan menyakiti hati dan perasaan pasangan yang seharusnya kita jaga. Lebih utama kita menyediakan ruangan toleransi dalam diri kita untuk adanya kekurangan dan kelemahan yang dimiliki pasangan, justru karena kita sadar bahwa tidak ada orang sempurna. Semua dari kita penuh keterbatasan dan kekurangan. Silakan saling mengingatkan, saling menegur dan saling mengingatkan dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Jangan saling mengasari, jangan saling mencaci maki, jangan saling mencela, jangan saling menyakiti hati. Semestinyalah suami dan isteri saling berusaha memahami dan mengerti, sehingga tidak ada lagi pihak yang sulit meminta maaf, tidak ada lagi pihak yang suka mencela. Mari kita buktikan bahwa hasil studi di atas tidak benar dan tidak berlaku untuk keluarga kita. Selamat siang, selamat beraktivitas. Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline