Lihat ke Halaman Asli

Cahyadi Takariawan

TERVERIFIKASI

Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Perjuangan Panjang Para Guru

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_154256" align="alignnone" width="717" caption="gambar pinjam google"] [/caption]

Sesungguhnya sudah lama kami  ingin silaturahim ke Pengurus Besar PGRI, namun baru terealisir kemarin, Selasa 6 Desember 2011. Kami diterima dengan sangat lengkap dan akrab di kantor PB PGRI, Jl. Tanah Abang III Nomer 24 Jakarta Pusat. Dr. Sulistiyo, M.Pd selaku Ketua Umum PB PGRI didampingi Sekjen PB PGRI, Sahiri Hermawan, SH, MH, beserta jajaran Pengurus Besar PGRI menyambut dengan ramah dan terbuka.

Pak Lis, sapaan akrab Dr. Sulistiyo, MPd, segera mengenalkan organisasi yang dipimpinnya berikut berbagai kendala dan agenda yang tengah diperjuangkannya. Tampak Pak Lis berbicara dengan lancar dan sangat bersemangat menyampaikan berbagai agenda perjuangan para guru, kritik terhadap DPR, partai politik, politisi, kepala daerah dan berbagai kalangan pengambilan kebijakan yang dianggap tidak serius memperjuangkan nasib para guru.

PGRI : Organisasi Guru yang Menyejarah

PGRI sendiri lahir pada tanggal 25 November 1945, tepat seratus hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Cikal bakal organisasi PGRI adalah sebuah organisasi guru bernama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) yang berdiri tahun 1912, kemudian berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) tahun 1932.

Semangat Proklamasi 17 Agustus 1945 menjiwai para guru untuk menyelenggarakan Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24 – 25 November 1945 di Surakarta. Melalui kongres inilah, segala organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas perbedaan pendidikan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama, dan suku, sepakat dihapuskan. Mereka bersatu untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Di dalam kongres ini, pada tanggal 25 November 1945, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dideklarasikan. Dengan semangat mengisi kemerdekaan, mereka bersatu dalam wadah PGRI, dengan tiga tujuan :

1.Mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia

2.Mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan

3.Membela hak dan nasib buruh umumnya, guru pada khususnya.

Sejak Kongres Guru Indonesia itulah, semua guru Indonesia menyatakan dirinya bersatu di dalam wadah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Sudah banyak kerja yang dilakukan, walaupun masih sangat banyak agenda yang harus diperjuangkan untuk memperbaiki kehidupan para guru, serta meningkatkan kualitas serta kapasitas mereka.

Agenda Perjuangan Para Guru

Belum lama berselang, PGRI merayakan ulang tahunnya yang ke 66, pada 25 November 2011 kemarin. Pada usia yang ke-66 ini PGRI menghadapi serangkaian agenda perjuangan yang kompleks. Sejak dari perjuangan untuk meningkatkan kesejahteraan guru, hingga politisasi guru dalam Pilkada dan nasib mereka ketika kepala daerah terpilih menganggap para guru tidak mendukung pencalonannya.

Salah satunya, saat ini PB PGRI tengah berjuang meminta Pemerintah agar segera menetapkan ketentuan Upah Minimal Pendidikan (UMP) untuk guru-guru swasta. Menurut Pak Lis, Pemerintah tidak boleh tutup mata terhadap kenyataan guru swasta yang hanya digaji antara Rp 100.000 hingga Rp 200.000 per bulan. Bahkan masih banyak yang diberi honor di bawah seratus ribu rupiah sebulan. Bagaimana mereka akan mengajar dengan baik, jika gajinya masih sangat jauh dari layak.

Menurut Dr. Sulistiyo, pemberian gaji yang sangat rendah tersebut merupakan bentuk penganiayaan atau kezaliman terhadap para guru. "Jika Pemerintah tidak turun tangan mengatasi hal tersebut, sama saja dengan membiarkan praktik penganiayaan massal terhadap guru," kata Pak Lis.

“Sudah puluhan tahun profesi guru dilecehkan. Coba anda bayangkan, buruh pabrik saja yang lulusan SD gajinya diatur UU dan dibayar di atas UMR. Masak guru sarjana dibayar di bawah UMR. Itu namanya pelecehan terhadap guru. Kalaupun dibayar sesuai UMR saja, itu namanya menghina,” tambahnya.

Pak Lis menyatakan menyambut baik keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang ingin menetapkan standar minimal gaji guru swasta. Persoalan tuntutan standar gaji yang layak bagi guru swasta tersebut sudah menjadi sorotan PGRI sejak lama. Bahkan PGRI telah mengusulkan sebuah nama untuk ketetapan standar gaji guru, yakni dalam bentuk UMP (Upah Minimal Pendidikan).

Menurut Pak Lis, penetapan standar gaji guru swasta bisa dilakukan secara bertahap. Misalnya dengan menaikkan tunjangan fungsional yang saat ini sebesar Rp 300 ribu per bulan menjadi Rp 500 ribu per bulan. “Pihak parpol dan DPR harus menyuarakan aspirasi ini agar segera terealisir peningkatan klesejahteraan para guru”, demikian salah satu permintaannya.

Pak Lis berharap agar diskriminasi dan pelecehan terhadap profesi guru segera bisa diakhiri, terutama guru tidak tetap dan honorer yang selama ini posisinya terus terpojok. Proses rekuitmen yang tidak jelas membuat kesejahteraan terhadap guru makin tidak jelas. Karena itu, Pemerintah harus membuat kebijakan berdasarkan data kehidupan nyata para guru, bukan dengan perkiraan.

Politisasi Guru dalam Pilkada

Keberadaan guru ditengarai PB PGRI masih menjadi komoditas politik penguasa daerah, utamanya saat pemilihan kepala daerah. Kecenderungan yang terjadi selama ini, guru dijadikan obyek politik oleh bupati, walikota atau gubernur yang sedang menjabat, dengan cara dijadikan tim sukses untuk kemenangan dirinya. "Guru yang ketahuan tidak mendukung kepala daerah yang sedang menjabat saat itu, maka akan dimutasi tanpa ada alasan jelas," kata Pak Lis.

Kondisi itu menjadikan guru tidak bisa concern menjalankan profesinya sebagai pendidik karena setiap saat harus selalu menunjukan loyalitas terhadap kepala daerah di wilayahnya. Para guru merasa terancam dan takut kalau dianggap tidak loyal, karena pengalaman di beberapa tempat, mereka dimutasi oleh kepala daerah lantaran dianggap tidak loyal dan tidak mendukung bupati atau walikota saat Pilkada.

Menurut Pak Lis, banyak permasalahan pendidikan di Indonesia yang muncul karena ulah para penguasa dan politikus. "Mutu pendidikan saat ini turun karena dikelolah oleh orang yang tidak ahlinya, banyak kepala dinas pendidikan di daerah tidak memiliki kompetensi, tetapi mereka menjadi kepala dinas hanya karena menjadi tim sukses penguasa," katanya.

Pemotongan Tunjangan Para Guru

Persoalan lain yang tengah dihadapi oleh para guru adalah adanya pemotongan tunjangan profesional. Bagaimanapun, guru juga manusia. Bagaimana bisa mendidik dengan baik, jika kesejahteraan mereka tidak diperhatikan. Masih banyak terjadi pemotongan tunjangan yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan di berbagai kabupaten dan kota di Indonesia.

PB PGRI sudah meminta kepada Presiden RI untuk melarang Dinas Pendidikan di Kabupaten / Kota melakukan pemotongan tunjangan profesional tersebut. "Dengan alasan apapun pemotongan itu bisa dikategorikan pungutan liar. Biarkan para guru menikmati hasil dari kebijakan Pemerintah yang sudah lama dinanti-nantikan itu”, kata Pak Lis.

Pemotongan yang dilakukan oleh petugas di Dinas Pendidikan dan Departemen Agama tingkat kabupaten/kota tidak memiliki dasar hukum dan meresahkan para guru yang menerima tunjangan tersebut. "Besarnya pemotongan yang dilakukan petugas di dinas ada yang mencapai tiga persen dari total tunjangan profesi yang diterima guru," ujarnya. Bila besarnya tunjangan profesi mencapai belasan juta hingga puluhan juta karena umumnya merupakan tunjangan yang dirapel. Jika tunjangan setiap guru dipotong tiga persen saja nilai akumulasinya sudah sangat besar.

Jalan Panjang Para Guru

Jalan panjang masih harus dilalui para guru, untuk memenuhi kehidupan yang layak, dan bisa menunaikan tugas pendidikan dengan optimal. Untuk itu diperlukan organisasi guru yang kuat, yang bisa memperjuangkan hak-hak para guru. Tentu saja harus didukung dengan serius oleh semua komponan masyarakat dan bangsa, karena ini menyangkut kualitas pendidikan di Indonesia. Bukan semata-mata urusan organisasi PGRI.

Dr. Sulistiyo, M.Pd resmi memegang pucuk pimpinan PB PGRI berdasarkan amanat Kongres PGRI ke-XX tahun 2008 di Palembang. Suami dari Ny. Halimah ini bertekad menjadikan PGRI sebagai satu-satunya organisasi guru di Indonesia yang besar, kuat, berwibawa, bermartabat, dan dihargai semua pihak, termasuk dunia internasional. Menurut Pak Lis, untuk mewujudkan hal itu diperlukan perubahan menuntut keberanian dan komitmen.

Akankah PGRI mampu menjawab seluruh persoalan dunia guru dan pendidikan? Dengan dukungan semua komponen bangsa, insyaallah mampu. Sejarah yang akan membuktikannya.

Pancoran Barat 7 Desember 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline