Lihat ke Halaman Asli

Cahyadi Takariawan

TERVERIFIKASI

Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Menjadi Sahabat Istimewa bagi Pasangan Kita

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1398038746584601957

[caption id="attachment_332565" align="aligncenter" width="500" caption="ilustrasi : www.scanfree.org"][/caption]

Kisah perceraian, perselingkuhan dan pertengkaran suami istri selalu ada hikmah dan pelajaran penting yang bisa diambil darinya. Saya mengajak anda untuk memahami hukum “sebab akibat” dalam kasus perselingkuhan dan perceraian pasangan suami istri (pasutri).

Sebuah keluarga yang sudah menjalani kebahagiaan selama limabelas tahun, akhirnya harus kandas karena kasus perselingkuhan. Suami berselingkuh dengan perempuan lain, yang akhirnya tidak bisa dimaafkan oleh sang istri. Tak ayal sang istri menggugat cerai ke pengadilan karena sakit hati merasa dikhianati.

Di keluarga lainnya, mereka sudah happy dalam ikatan pernikahan selama sepuluh tahun. Namun kebahagiaan itu rusak karena sang istri berselingkuh dengan pacar lamanya. Perselingkuhan mereka berlanjut dan kahirnya ketahuan oleh sang suami. Kisah keluarga itu berakhir dengan talak yang dijatuhkan oleh suami dan dikuatkan di pengadilan.

Terjebak Rutinitas Berkeluarga

Apa yang terjadi pada keluarga mereka? Rupanya, setelah menikah mereka sibuk “berkeluarga” namun lupa untuk “bersahabat” dengan pasangan. Setiap hari suami dan istri bertemu, yang dibicarakan hanya soal biaya belanja bulanan, rekening listrik, tagihan telepon dan internet, biaya sekolah anak-anak, biaya perawatan tubuh dan facial, dan seputar hal seperti itu.

Rutinitas kerja dan rutinitas hidup berumah tangga menyebabkan banyak kalangan pasutri kehilangan perhatian terhadap sisi-sisi kenyamanan hubungan hati. Bukankah seharusnya pasutri itu berelasi sebagai sahabat, yang saling berbagi dalam suka dan duka, saling curhat, saling memberi nasehat, saling meluangkan waktu untuk berduaan dan menikmati kebersamaan.

Bahkan untuk berduaan antara suami dan istri tidak selalu dengan canda dan obrolan mesra. Kadang pasutri menikmati kebersamaan dalam diam yang menghanyutkan, seperti kedalaman ungkapan pusisi “Di Restoran” karya Sapardi Djoko Damono berikut ini :

Kita berdua saja, duduk. Aku memesan
ilalang panjang dan bunga rumput
kau entah memesan apa. Aku memesan
batu di tengah sungai terjal yang deras
Kau entah memesan apa. Tapi kita berdua
saja, duduk. Aku memesan rasa sakit
yang tak putus dan nyaring lengkingnya,
memesan rasa lapar yang asing itu.

Banyak kalangan pasutri yang tidak sempat meluangkan waktu untuk duduk bercengkerama berdua. Walaupun sepertinya “tidak melakukan apa-apa”, namun mereka berdua terikat kuat oleh perasaan dan pikiran yang menyatu. Sangat disayangkan yang terjadi tidaklah seperti itu. Ketika suami istri ada waktu berduaan, ternyata justru sibuk dengan gadget masing-masing.

Mereka memilih lebih memperhatikan orang lain yang jauh, teman kerja, sahabat, kerabat, kenalan baru, dan sebagainya –daripada memperhatikan pasangan yang ada di sampingnya. Dampaknya, pasangan merasa tidak diperhatikan, tidak diistimewakan, tidak diutamakan, tidak dikhususkan. Hubungan mereka semakin kering, pertemuan di dalam rumah hanya untuk memenuhi kewajiban hidup berumah tangga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline