Lihat ke Halaman Asli

Cahyadi Takariawan

TERVERIFIKASI

Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Catatan Hati Seorang Suami

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14129863091558268364

[caption id="attachment_365565" align="aligncenter" width="544" caption="ilustrasi : www.izquotes.com"][/caption]

Dalam kehidupan berumah tangga, suami dan istri memiliki corak interaksi yang sangat intim. Walaupun ada definisi tentang hak dan kewajiban, namun mereka berinteraksi dalam suasana cinta dan kasih sayang, bukan dalam suasana “hukum” tentang mana hak dan mana kewajiban yang kaku dan mekanistik.

Oleh karena itu, soal membuatkan teh panas, memasak, membersihkan kamar dan rumah, mencuci baju, membuang sampah, dan lain sebagainya urusan rumah tangga, tidak selalu diletakkan dalam bingkai hak dan kewajiban. Mereka berdua bisa meletakkannya dalam bingkai cinta dan kasih sayang.

Tidak ada rumus baku, bahwa istri harus membuatkan teh panas untuk suami, atau suami harus membuatkan teh panas untuk istri. Tidak ada rumus baku, bahwa istri harus memasak untuk suami, atau suami harus memasak untuk istri. Yang ada adalah rumus baku, bahwa suami dan istri harus saling mencintai dan saling menyayangi.

Jika biasanya istri dengan suka rela memasak untuk suami, suami tidak perlu marah jika suatu ketika sang istri tidak memasak untuknya. Peristiwa istri tidak memasak ini tentu saja ada berbagai macam sebab yang harus dipahami oleh suami. Cobalah mengerti dari berbagai sudut pandang istri, agar suami lebih bisa empati dengan keadaan yang membuatnya tidak memasak hari itu.

Catatan Hati Seorang Suami

Seorang suami menceritakan kepada saya sebuah kejadian kecil yang dialaminya dalam kehidupan rumah tangga. Ia bekerja di sebuah instansi swasta, berangkat pagi dan pulang sore, maghrib baru tiba di rumah. Istrinya tidak bekerja formal, namun sangat konsentrasi untuk mengurus tiga anak mereka yang masih kecil.

Selama ini ia dan istrinya selalu berusaha untuk saling mengerti dan saling memahami, sehingga tidak terjadi suasana saling menuntut di antara mereka. Setiap hari sang istri memasak, membersihkan rumah, mencuci baju dan mengurus anak. Ia berusaha membantu meringankan pekerjaan sang istri selama ia di rumah, karena menyadari mereka tidak memiliki pembantu rumah tangga.

Namun ia merasa lebih banyak tidak bisa membantu, karena jam setengah tujuh dia sudah berangkat dari rumah menuju tempat bekerja. Sampai di rumah sudah maghrib. Praktis sangat sedikit waktunya di rumah, karena di malam hari kadang masih ada kegiatan dengan warga lingkungan ataupun kegiatan organisasi. Dengan kondisi seperti itu, ia berusaha untuk membuka pengertian dan pemahaman yang luas atas kelelahan istri yang harus mengurus berbagai renik kerumahtanggaan sendirian.

Berikut ini penuturan suami salih tersebut.

Biasanya menjelang maghrib aku sudah sampai di rumah. Namun hari ini, selepas Isya aku baru pulang dan tiba di rumah sekitar jam sembilan malam. Daffa, anak pertamaku yang baru kelas tiga SD membukakan pintu untukku.

“Aku diminta ibu untuk menunggu ayah pulang agar bisa membukakan pintu”, kata anakku.

“Terimakasih Nak, kau baik sekali. Sekarang engkau tidur ya, bareng adik di kamar”, jawabku. Ia mengangguk dan segera masuk kamar.

Aku segera masuk ke kamarku. Sejenak aku tertegun menatap isteriku. Ia tertidur kelelahan, di samping si bungsu yang juga sudah pulas.

Aku perhatikan wajah isteriku, tidak tega aku untuk membangunkannya. Tentu ia sangat lelah mengurus tiga anakku yang masih kecil-kecil. Biarlah ia istirahat. Aku juga lelah karena seharian bekerja, namun rasanya aku harus lebih kuat. Aku pemimpin keluarga ini, tidak layak aku bersikap manja ketika di rumah. Aku bisa menyiapkan keperluan makan malam sendiri.

Aku beranjak ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Namun aku terkejut ketika membuka penutup yang ada di atas meja makan, ternyata telah tersedia sayur dan lauk pauk. Pasti isteriku telah menyiapkannya untukku sebelum dia tertidur karena kelelahan.

Sambil menyantap makan malam aku membayangkan betapa banyak kebaikan isteriku. Ia telah menjaga dan menamani ketiga anakku setiap hari. Ia menjemput dua anakku sepulang dari sekolah di SD dan TK. Ia masih menyusui anak balitaku yang baru berusia setahun. Ketika malam ini ia kelelahan mengurus si bungsu yang masih kecil, mungkin ia sudah merasa akan ketiduran, maka ia memberi tugas anak pertama agar menunggu kepulanganku sehingga bisa membukakan pintu.

Kesediaan Daffa untuk menunggu sampai aku pulang dan membukakan pintu, itu juga buah dari pendidikan dan pengajaran yang dilakukannya kepada anak-anak di rumah. Bahkan ternyata ia juga masih sempat menyiapkan keperluan makan malamku.

Kalaupun saat ini ia tertidur dan tidak menemani bersamaku makan malam, itu karena aku tidak tega untuk membangunkannya. Menurutku, ia berhak untuk istirahat lebih banyak. Besok pagi ia akan bangun pagi-pagi, lebih pagi dari aku, untuk menyiapkan keperluan dapur dan menyiapkan anak-anak untuk sekolah. Sungguh, kebaikannya amat sangat banyak.

Selesai menyantap makan malam, aku segera ke kamar mandi untuk bersih diri. Setelah itu aku kembali masuk ke kamar, melihat wajah isteriku yang tertidur sangat pulas. Aku memegang keningnya, dengan lembut aku berdoa, “Ya Allah, berikan kebahagiaan baginya di dunia dan kelak di akhirat. Sungguh, ia telah membahagiakan aku dengan berbagai kebaikan yang ia lakukan setiap saat. Hanya Engkau yang bisa memberikan balasan berlipat”.

Cara Memahami dan Menikmati

Cobalah perhatikan, yang sangat menarik dari suami tersebut adalah cara dia memahami kondisi dan situasi sang istri. Bisa saja ia membangunkan sang istri untuk memasak dan menyiapkan makan malamnya. Bisa saja ia marah karena istrinya sudah tidur saat ia pulang dari kerja, sehingga tidak menyambutnya. Bisa saja ia melampiaskan kejengkelan dengan membanting pintu agar sang istri terbangun.

Ia memilih tidak melakukan tindakan seperti itu. Ia memilih untuk mengerti dan memahami kondisi istri. Kendati ia merasa lelah sepulang kerja, namun ia memahami dan mengerti bahwa istrinya juga lelah mengurus anak-anak dan berbagai urusan rumah tangga. Ia merasakan cinta istrinya yang demikian besar kepada dirinya, lewat berbagai tindakan istri untuknya.

Ini adalah cara memahami, cara melihat, cara mengerti dan akhirnya cara menikmati sebuah kejadian dalam kehidupan. Jika ia melihat lebih banyak sisi kekurangan istri, atau melihat lebih banyak tuntutan kepada istri untuk melaksanakan kewajibannya, maka yang terjadi adalah sebuah perasaan marah dan emosi karena menganggap sang istri melalaikan kewajiban untuk menyambut suami saat pulang dari bekerja.

Hidup ini pilihan. Maka pilih saja segala yang bisa membawa kepada penguatan cinta, kasih sayang, keharmonisan dan kebahagiaan dalam keluarga. Jangan memilih cara pandang dan cara menikmati yang justru akan merusak kebahagiaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline