Lihat ke Halaman Asli

Jejak Pegawai Pajak di Perkebunan Emas Hijau Bumi Borneo

Diperbarui: 15 Agustus 2018   15:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beraksi sejenak sebelum menjelejah kebun sawit (dok. pribadi)

Masih ingat buku Cara Cerdas Berkebun Emas ? Buku populer karya Rully Kustandar yang booming di pasaran buku  "how to" beberapa tahun lalu ? Saya sempat dipaksa melotot oleh buku terbitan Trans Media tahun 2010 itu.

Itu dunia buku. Terus kalau di dunia riil adakah orang berkebun emas ? Ada dong ! Gak Percaya ? Kapan-kapan anda kami ajak untuk menikmati hijaunya hamparan ribuan hektar kebun yang benar-benar bernilai emas itu. Di hamparan kebun emas yang membentang di cuilan surga utara Indonesia yang bernama Berau, kami biasa cuci mata. Tahu kan apa yang saya maksud dengan kebun emas ?

Iya benar kebun sawit ! Kalau di wilayah Kalimantan kebun emas itu berwujud kelapa sawit. Makanya sawit biasa disebut sebagai emas hijau kan ? Emas hijau itu kata lain dari kelapa sawit. Begitu setidaknya kata Pak Agung Sukma Wijaya Kepala Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan KPP Pratama Tanjung Redeb. Kelapa sawit disebut emas hijau ?  Iya aja deh pokoknya. Kalau yang bicara pak Agung, jawabnya iya aja deh pokoknya . . . he he he . . .

Adalah bapak Narto Penilai Pajak di KPP Pratama Tanjung Redeb yang biasa blusukan di kebun emas hijau alias kelapa sawit di Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur itu. Bersama dua rekan sejawatnya yaitu bapak Mahfud dan bapak Teguh Ismail beliau biasa blusukan (visit) dari satu kebun sawit ke kebun sawit berikutnya di wilayah kerja KPP Pratama Tanjung Redeb.

Pegawai pajak kok belusukan ke kebun sawit, lalu kapan kerjanya mereka itu ?

Ya itulah kerjanya. Mereka kerjanya di kebun-kebun sawit dan di Hutan Alam maupun Hutan Tanaman Industri. Maklum pak Narto dan pak Mahfud adalah tenaga fungsional penilai pajak yang mengampu sektor Perkebunan dan Perhutanan. Sedangkan pak Teguh Ismail di bagian ekstensifikasi perpajakan.

Ya meja kerja mereka memang berada di kebun dan hutan itu. Data mereka ada pada kuantitas Tandan Buah Segar (TBS), luas lahan produktif, emplasemen, areal pengaman, peta tahun tanam, luas bangunan pabrik dan lain-lain. Yang kesemuanya adanya di lapangan alias di kebun-kebun dan hutan itu.

Pantaslah kalau kulit mereka bertiga nampak makin gelap saja. Itu karena efek sengatan matahari area perkebunan. Gak pakai sun block sih . . . Di samping karena sengatan sinar matahari, juga karena faktor mandi. Di saat blusukan itu kadang mereka mendapatkan penginapan yang air mandinya bercampur lumpur. Jadi pilih nggak mandi. Kesiaaann ya mereka ini . . . he he he . . .

Di saat blusukan itulah mereka melakukan crosscek data (yang sebelumnya telah mereka peroleh dari stake holder) dengan data riil di lapangan. Sebagai data pendukung mereka juga mengumpulkan data makro. 

Misalnya mereka mencatat bahwa secara agregat sepanjang tahun 2016 lalu nilai ekspor kita dari sektor sawit mencapai Rp 240 triliun dari luasan kebun 4,7 juta Ha. Nilai itu naik 8 persen dibandingkan tahun 2015 sebesar Rp 220 triliun. Terbayang berapa income pemerintah dari sektor pajaknya kan ? Itulah misi blusukan mereka.

Indonesia memang dikenal sebagai raja sawit. Namun dari berbagai kegiatan blusukan dan studi literatur tim ini menemukan fakta bahwa dalam hal produktivitas, ternyata produktivitas Tandan Buah Segar (TBS) perkebunan sawit kita masih di bawah Malaysia. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline