Lihat ke Halaman Asli

Menemukan Jalak Suren di Kampung Moyangnya Cucak Rawa

Diperbarui: 21 Februari 2017   15:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Iza di Depan Kandang Penangkaran Jalak Surennya

Tulisan ini saya peruntukkan buat para penikmat dan penghobi burung cucak rawa di seluruh Indonesia, wabil khusus buat teman-teman anggota KPCRI (Komunitas Pecinta Cucak Rawa Indonesia) yang pada tanggal 25 Februari 2017 besuk akan menggelar acara Kopdar. Buat saya pribadi agenda rutin yang rencananya akan digelar di Boyolali kali ini bukan sekedar ajang kumpul-kumpul dan ngobrol sesama penangkar dan penghobi, tapi lebih dari itu kopdar ini memiliki makna yang sangat strategis yaitu upaya pelestarian burung cucak rawa.

Pelestarian burung cucak rawa ? Iya pelestarian burung cucak rawa. Seserius itu kah ? Iya benar seserius itu. Apakah ini berarti burung cucak rawa telah mengalami ancaman kepunahan ? Sangat mungkin iya, mengingat keberadaan burung cucak rawa di alam liar sudah sangat menipis. Penulis telah menggali informasi lapangan sampai ke pelosok daerah yang di masa lalu dikenal sebagai gudangnya burung cucak rawa, yaitu hutan Kalimantan bagian utara.

Berikut ini sebagian cerita dari perburuan saya dalam rangka menghimpun informasi tentang keberadaan burung cucak rawa di Kalimantan Utara, khususnya di Kabupaten Malinau.

Bagi para kicau maniac, seekor burung memiliki magnet. Salah satu burung yang memiliki gaya tarik magnet cukup kuat adalah burung cucak rawa. Makanya dia begitu menarik, di mata kicau maniac. Suaranya yang khas ( terlebih yang ropel ) terasa begitu memikat hati. Bahkan kicauan paginya seakan bisa menambah damainya hari. Apa lagi jika paginya ditemani sepiring goreng pisang kepok kuning yang masih anget, plus secangkir kopi panas. Hhmmm . . . nikmatnya.

Pun kicauan sorenya. Setelah seharian tak bosan-bosannya kita disuguhi lantunan suara emasnya, melodi kicauan sorenya akan menjadi penyempurna penutup hari . . . jiaaa .  . lebay ya . . . ? Sempurnalah sudah hidup ini . . . he ... he ... he...

Ya kira-kira begitulah kesan para kicau maniac saat mendengarkan si burung kesayangan berdendang klang . . . kling . . . klung . . . klang . . . kling. . . klung . . . di sangkar emasnya. Makanya tidak aneh jika, si burung bersuara emas khas Kalimantan dan Sumatera ini banyak diburu penghobi dari berbagai daerah di Indonesia.

Berbicara tentang burung cucak rawa, biasanya ingatan kita langsung melayang ke Sumatera dan Kalimantan. Karena kedua daerah inilah yang terlanjur dipercaya memiliki hak paten atas asal moyangnya burung cucak rawa.

Benarkah si burung bersuara emas ini memang menjadi hak paten kedua pulau tersebut ? Kalau dulu sih memang iya, tapi sekarang nampaknya “tak lagi” . . .

Hasil penelusuran saya ke salah satu daerah yang sering disebut sebagai asal moyangnya burung cucak rawa yaitu Kabupaten Malinau Kalimantan Utara, menguatkan kesimpulan “tak lagi” di atas. Iya benar memang di masa lalu, Kabupaten Malinau yang posisi geografisnya hanya beberapa jengkal dari pekarangan rumah Siti Nurhaliza ini dikenal sebagai wilayah yang banyak dihuni burung cucak rawa.

Di masa lalu hutan Malinau bisa dibilang gudangnya burung cucak rawa. Karena hutannya yang masih perawan ini berbagai jenis burung berkembang biak dengan baik di sini. Burung murai batu, cucak ijo dan burung kacer di antara beberapa spesies yang meramaikan hutan Malinau.

Konon menurut mas Iza yang sempat menemani saya ngobrol, ratusan ekor burung murai, cucak ijo dan kacer bisa dijaring oleh para pemburu setiap bulannya. Itu sekitar lima sampai tujuh tahun yang lalu. Tapi lain dulu lain pula sekarang. Cucak Ijo dan kacerpun kini sudah jauh berkurang. Apa lagi burung cucak rawa . . .

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline