Lihat ke Halaman Asli

Menjadi Jutawan dari Kandang Burung Jalak Bali

Diperbarui: 14 Agustus 2015   10:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Berpuluh kali saya menerima sms, bbm, WA, telepon maupun kunjungan langsung dari para kicau mania untuk omong-omong soal penangkaran burung jalak bali. Ngomongnya ngalor ngidul kesana kemari, tapi under-underane nanti balik maning nang penangkaran burung jalak bali. Ibaratnya sejauh-jauh blekok terbang, baliknya ya ke sawah juga. Biasanya begitu . . .

Setelah balik maning nang penangkaran burung jalak bali, obrolan wabil khusus akan mengerucut kepada tema “gimana caranya menjadi penangkar burung jalak bali yang joss . . . .? Ini dia topic obrolan yang paling disukai oleh para penangkar jalak bali dan calon penangkar jalak bali yang berencana menerjuni dunia penangkaran. Karena bidang ini menjanjikan kita untuk menjadi jutawan.

Satu hal yang sangat sering saya temui dalam obrolan tersebut adalah seringnya saya mendeteksi adanya “penyakit mental sukses” dari para penangkar maupun calon penangkar burung jalak bali tersebut. “Penyakit mental sukse” ini adalah bahasanya orang kota. Dan kata orang-orang kota tersebut, jika penyakit tersebut masih bersarang dalam fikiran kita, maka impian untuk menjadi penangkar burung jalak bali yang josss . . . hanya sekedar mimpi semata. Dan impian untuk menjadi jutawan kian menjauh. Waduh gawat . . .

Kata mereka “penyakit mental sukses” wujudnya berupa pikiran yang ngerecoki, ngganggu, nggandoli seorang penangkar untuk mengembangkan penangkarannya.

Dari mana saya bisa mendeteksi bahwa sebagian di antara mereka mengidap penyakit mental yang bakal menghalangi mereka untuk mewujudkan diri mereka menjadi penangkar burung jalak bali yang josss tersebut ?

Saya mendeteksi keberadaan mental penghalangan tersebut dari cara berfikirnya. Cara berfikir ini biasanya saya ambil dari cerita mereka sendiri. Atau dari pertanyaan yang mereka ajukan.

Misalnya begini. Ada seorang calon penangkar burung jalak bali dari Jombang Jawa Timur, sebut saja namanya Heru. Dia cerita bahwa dia sangat berkeinginan untuk menjadi penangkar burung jalak bali. Namun cerita yang panjang itu diakhiri dengan sebuah pertanyaan yang menjadi pemutus keinginannya untuk menjadi penangkar burung jalak bali tersebut, begini “Kalau saya nanti menjadi penangkar, kemudian burung-burung saya sudah beranak pinak dengan banyak, apakah nanti saya bisa memasarkan”.

Mas Heru ini bercerita bahwa sepengetahuan beliau pasar burung jalak bali tidak seluas burung lain seperti burung dara, kenari, murai batu, kacer dan lain-lain. Karena potensi pasarnya tidak seluas burung-burung tersebut dan segmennya hanya kelas orang gedongan maka jika nanti beliau sudah berhasil mengembangkan burung jalak bali dalam penangkarannya maka dia akan susah sendiri karena dia pasti kesulitan untuk memasarkannya.

Kalau begitu fikiran penjenengan ya bagus, artinya penjenengan orangya berhati-hati dalam mengambil keputusan. Dan itu bagus juga sih . . . Tapi dalam hati yang paling dalam saya memaknai kehati-hatian beliau ini sebagai penyakit mental sukses, karena saking hati-hatinya menyebabkan dia tidak jadi melangkah. Menurut saya sikap hati-hatinya kurang proporsional, sehingga malah berubah menjadi penyakit mental sukses.

Di lain waktu, seorang calon penangkar lainnya menceritakan keinginannya untuk menjadi penangkar jalak bali. Dengan bahasa halus dia mengatakan bahwa “saya minta bimbingannya pak syam”. Setelah bercerita panjang lebar akhirnya keinginannya untuk menjadi penangkar burung jalak bali yang josss . . .tersebut kepentok pada rasa takutnya sendiri karena menurut dia menangkarkan burung jalak bali itu sulit.

Karena menangkarkan burung jalak bali itu sulit maka dia khawatir jika sudah kadung membeli burung jalak bali yang berharga mahal itu nantinya gagal menangkarkannya. Untuk menghindari kerugian, mending investasi pada penangkaran burung yang harganya terjangkau tapi memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi, seperti kenari atau murai batu biasa.

Ya . . . terserahlah, karena pada akhirnya keputusan untuk menangkarkan burung jenis apa, semuanya terpulang kepada penjenengan sendiri. Sama dengan kasus yang pertama di atas, dalam kasus ini saya juga mengkategarikan kekhawatirannya sebagai penyakit mental juga.

Calon penangkar burung jalak bali lain yang juga menceritakan kepada saya adalah calon penangkar burung jalak bali dari Batang Jawa Tengah dan Kediri Jawa Timur ( yang sedang mengadu nasib di Malaysia, sebagai TKI). Dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama beliau berdua menceritakan kasus pembelian burung jalak bali untuk ditangkarkan. Namun keduanya memeiliki nasib yang sama yaitu tertipu. Uang muka yang telah dia transfer menguap begitu saja karena paket kiriman burung tidak kunjung diterima dan penjual tidak bisa lagi dihubungi.

Dalam kasus ini saya mengkategorikan calon penangkar kita ini sebagai orang yang terkena penyakit mental sukses. Karena mereka berdua ini begitu mudahnya ditipu oleh seseorang yang mengaku pedagang burung jalak bali. Pancingan dari sang penipu langsung saja ditangkap begitu penjual menawarkan harga burung jalak bali dengan harga yang sangat miring. Harga yang ditawarkan kurang dari separoh harga burung jalak bali di pasaran. Demi didengarnya ada penjual burung jalak bali yang menjual dengan harga yang sangat murah maka dia langsung menyetuji. Inilah kesalahan mereka. Di sinilah penyakit mental sukses itu bersarang.

Jika mereka berdua tidak terjangkiti penyakit mental sukses, maka dengan melihat harga yang semurah itu, mestinya sang calon penangkar burung jalak bali segera menaruh curiga, bukan justru merasa mendapatkan keberuntungan.

Dalam prakteknya memang banyak calon penangkar yang berencana membel burung jalak bali yang mendasarkan keputusannya kelak kepada harga burung semata-mata. Dia hanya focus pada harga yang murah saja. Padahal sesuai hukum pasar bahwa harga bersesuaian dengan kualitas barang. Kadang memang ada sih, barang dengan kualitasnya bagus tapi dijual dengan harga di bawah standart. Namun hal ini tentu saja frekwensinya jarang.

Nah calon penangkar burung jalak bali kita kali ini, rupanya menganut prinsip ini. Mungkin mereka berdua berfikiran bahwa “Apa salahnya jika ada burung jalak bali berharga murah saya beli, toh kualitas burung jalak bali itu sama saja”. Maka dibelilah burung jalak bali berharga miring tersebut, namun ternyata dugaannya meleset, dia tertipu.

Membeli burung jalak bali atau membeli burung apapun, semestinya tidak hanya mendasarkan pada harga semata-mata. Mempertimbangkan harga yang sesuai dengan kocek kita itu memang penting, tapi jangan sampai mengorbankan kualitas burung dan keamanan dalam pembelian. Salah-salah kita akan mendapatkan burung dengan kualitas yang tidak memenuhi standart penangkaran burung. Misalnya jenis kelaminnya tidak diketahui, burungnya kurang sehat, terindikasi infertile ( tidak subur) dan lain-lain.

Demikianlah sekelumit kasus yang terjadi saat calon penangkar burung jalak bali akan memulai menangkar. Bagaimana dengan para penangkar yang telah menerjuni penangkaran, apakah mereka juga berpeluang untuk terjangkiti penyakit mental sukses tersebut.

Bagi penangkar burung jalak bali yang sudah menekuni dunia penangkaran burung jalak bali, penyakit mereka berbeda. Bagi mereka sering kali penyakitnya berupa ketidakjelasan arah pengembangan penangkaran. Penangkarannya mau dikembangkan kayak apa, dia tidak memiliki gambaran. Karena dia tidak memiliki gambaran yang jelas tentang “potret penangkarannya” di masa depan, maka segala potensi yang dia miliki tidak bisa dimaksimalkan, sehingga penangkaran yang josss tadi tidak kunjung terwujud. Penangkarannya menjadi ogah-ogahan berkembang. Kalau kata orang kota : hidup kagak . . . mati juga ogah . . .

Nah itu sebagian cerita yang saya dapatkan dari para penangkar maupun calon penangkar burung jalak bali. Saya secara pribadi berkeyakinan bahwa penangkar atau calon penangkar burung jalak bali yang mengidap “penyakit mental sukses” tersebut akan menemui banyak hambatan dalam perjalanannya menuju penankgar burung jalak bali yang josss . . .Setidaknya itu hasil pengamatan saya, kalau salah ya mohon maaf. Maklum pak Syam ini penankgar nDeso yang baru belajar menangkar kepada para penangkar senior di kota.

Nah bagaimana bermental sukses ala penangkar burung jalak bali kota ? Dari berbagai pengamatan terhadap para penangkar burung baik kenari, murai batu, cucak rawa maupun jenis burung jalak seperti jalak suren, jalak putih dan jalak bali saya menemukan benang merah yang sama. Apa saja benang merah tersebut.

1. Mimpi Yang Utuh

Dari pengamatan saya terhadap beberapa penangkar kota saya mendapatkan kesimpulan bahwa para penangkar senior di Jakarta, Bogor dan Depok mereka memiliki mimpi yang utuh tentang penangkaran mereka ke depan bakal seperti apa. Sebutlah pak Mochtar, Mas Yoen, Mas Saidi, Pak Eris, Pak Kholid, Pak Kardi, pak Sugeng dan rising star Mas Harry Pancoro mereka semua adalah orang-orang top. Kalau dalam bahasa orang kota mereka adalah para penangkar yang visioner. Mereka memiliki mimpi (keinginan dan harapan) yang jelas, bahwa besok penangkaran saya akan begini atau begitu. Kemudian mereka berusaha keras untuk mewujudkannya. Dan sekarang benar-benar terwujud . . . mereka telah menjadi penangkar joss . . .

2. Kesadaran Yang Utuh Tentang Potensi Sekitar.

Berangkat dari mimpi yang utuh akhirnya mereka berusaha sekuat tenaga untuk bisa meraih mimpi tersebut. Dalam meraih mimpi ini mereka memanfaatkan seluruh potensi yang ada di sekitarnya menjadi alat untuk mewujudkan mimpinya. Misalnya salah satu kebutuhan untuk ngloloh piyikan adalah ketersediaan kroto yang cukup. Sementara kroto sering susah didapat. Bagaimana mensiasati hal ini ? Pak Mochtar pernah menceritakan pengalaman beliau dalam mensiasati hal ini. Yaitu dengan cara mengganti kroto dengan jangkrik yang masih kecil-kecil yang dipelihara secara khusus dengan cara memberikan pakan yang khusus pula. Beliau memberikan pakan jangkriknya dengan tahu mentah. Dan hasilnya sangat bagus untuk bahan ngloloh piyikan.

3. Berani Gagal.

Banyak orang yang alergi dengan kegagalan. Mereka mati-matian menghindari kegagalan. Karena gagal itu sakit dan sakitnya tuh dalem banget. Namun di dunia penangkaran, kita tidak boleh alergi dengan kegagalan. Kuatir gagal sih bagus, karena dengan sedikit kekhawatiran maka akan menjadi rem agar kita berencana dengan baik sebelum melangkah. Tapi khawatirnya jangan berlebihan.

Sependek pengetahuan saya semua peangakar hebat Jakarta, Bogor dan Depok di atas, semanya mengalami banyak kegagalan sebelum akhirnya mereka menjadi Penangkar JOSSS . . . seperti sekarang. Jatuh bangun adalah makanan mereka sehari hari saat mereka masih berada di level “perjuangan dan doa”. Mereka sama sekali tidak alergi terhadap kegagalan. Prinsip apapun yang terjadi mereka akan terus mencoba dan terus terus menangkar burung.

4. Kreatif.

Dunia menangkar burung adalah dunia yang penuh dengan seni kemungkinan. Begitulah bahasanya orang-orang kota. Kata mereka, apapun bisa terjadi di dunia penangkaran. Di dunia penangkaran tidak ada guru dan murid yang abadi. Yang senior harus mau berguru pada yuniornya. Yang yunior harus mau berguru pada yang masih new bie. Penangkar sesenior Mas Yoen atau Mas Saidi mungkin suatu hari juga perlu berguru pada penangkar yunior semacam pak Syam ini . . . ( maaf guyon mas ).

Hidup di dunia yang dipenuhi dengan seni kemungkinan ini maka kreatifitas akan menjadi faktor penting untuk dimiliki. Cara-cara baru mengembangkan burung, inovasi kandang burung, tips menggairahkan arena lomba, kreatifitas menciptakan pasar, ide-ide untuk menggandeng stake holder penangkaran adalah sejumlah skills yang dimiliki oleh penangkar kota. Dan tentu saja kita yang masuk status penangar nDeso boleh-boleh saja mencloning success story para penangkar kota itu . . . .

Begitulah kira-kira beberapa hal yang mesti kita miliki agar kita bisa menjadi penangkar burung jalak bali yang joss . . . seperti para penangkar kota itu. Soal status bahwa kita hari ini berstatus penangkar nDeso . . . ra popo . . . tapi yang penting kelak kita bisa menjadi penangkar burung jalak bali joss . . .Dan salah satu caranya dengan mengusir “penyakit mental sukses” tersebut terus merevolusi mental kita menjadi penangkar bermental sukses . . . agar kita benar-benar menjadi penangkar burung jalak bali yang jooosss . . . . benar-benar menjadi jutawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline