Lihat ke Halaman Asli

Tiket Kereta Jogja dan Begal Jakarta

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

142613439141661829

Sebagai tukang burung, saya biasa wira-wiri naik kendaraan umum menyinggahi berbagai kota di pulau Jawa. Selama ini saya memang seringnya gak sampai hati jika mengirim burung pakai jasa pengiriman hewan pada umumnya. Gak tahu kenapa begitu. Rasanya gak enak saja.

Selama masih bisa dijangkau oleh kereta api, atau didatangi dengan perjalanan darat lainnya, saya sering mengantarkan burung jalak bali pesanan konsumen sampai ke alamat. Konsekwensi atas pilihan ini maka saya sering wira-wiri alias bolak-balik naik kendaraan umum, terutama kereta api.

Sebenarnya saya paling senang jika pembeli memiliki waktu untuk datang sendiri ke gubug saya di Klaten. Dan Alhamdulillah memang banyak juga penggemar burung jalak bali yang mampir ke gubug saya. Biasanya mereka sekalian melihat-lihat kandang penangkaran burung jalak bali saya, nanya-nanya cara merawat burung jalak bali, ingin melihat langsung bagaimana cara menyuapi burung-burung jalak bali yang masih berusia dini dan lain-lain.

Tentu saja selama menjalani aktivitas wira-wiri tersebut, ada banyak pengalaman yang layak untuk saya catat. Salah satunya yang saya alami awal pekan ini.

Seperti biasanya sore itu saya diantar istri dan ditemani si bungsu, Azzam ke Stasiun Kereta Api Klaten. Sore itu saya akan berangkat ke Jakarta.

Berkereta dengan tujuan ke Jakarta, dalam beberapa bulan ini saya biasa pakai kereta api Senja Utama Jogjakarta. Saya pilih kereta ini karena jam keberangkatannya yang enak yaitu pukul 20.30 dari stasiun Tugu Jogjakarta dan sampai di Stasiun Jakarta Pasar Senen menjelang pukul 5 pagi. Menurutku ini waktu yang pas untuk bepergian ke Jakarta. Kalau ikut kereta lain, sampainya di Jakarta kepagian, masih gelap . . . ngerii . . . banyak kejahatan. Kalau sampainya kesiangan, panas . .. ngerii . . .macet . . . he he he . . .

Setelah membeli tiket kereta api Lodaya (untuk transit di Jogjakarta) saya masih ada waktu untuk bercengkerama dengan istri. Tak lama kemudian ada pengumuman kereta api Lodaya akan segera masuk ke jalur satu. Penumpang berjejal memasuki pintu kereta api jurusan Bandung itu.

Di sore yang cerah itu kereta api Lodaya membawaku menuju stasiun kereta api Tugu Jogjakarta. Setelah selesai sholat isya seperti biasanya saya menyempatkan diri untuk pijet terlebih dahulu beberapa saat. Sejak dilakukan perbaikan managemen di PT. KAI kini di Stasiun Tugu Jogjakarta terdapat tiga corner yang menyediakan kursi pijat elektronik. Murah meriah, hanya dengan selembar uang sepuluh ribu rupiah kita bisa melepaskan ketegangan otot-otot kita selama sepuluh menit. Saya hampir ajeg memanfaatkan jasa pijet ini, lumayan untuk sekedar relaksasi dan melenturkan otot-otot punggung.

Tak lama kemudian kereta api Senja Utama Jogjakarta siap meluncur membawa penumpang menuju Jakarta.

Sekitar setengah jam kereta meluncur. Kondektur memasuki gerbong enam tempat saya duduk, untuk melakukan pemeriksaan tiket. Tiket saya berikan. Agak lama kondektur memandangi tiket. Ini gak biasanya. Kemudian dengan tenang dia mengatakan,”Tiketnya salah pak. Ini tiket kereta api Senja Utama Solo yang berangkat pukul enam sore tadi.”

Dengan rasa tidak percaya saya minta tiket tersebut. Kemudian saya pelototi, alamaaak . . . teryata memang benar ini tiket kereta api Senja Utama Solo. Wah saya salah naik kereta dong . . .

Pak kondektur mengatakan bahwa saya harus turun dari kereta Senja Utama Jogjakarta ini, karena saya tidak memiliki tiketnya. “Gimana pak mau turun di Stasiun Wates atau Stasiun Kutoarjo ?” tanya Kondektur. “Kutuarjo saja pak,” jawab saya singkat. Saya memilih untuk turun di Stasiun Kutoarjo dengan niat untuk membeli tiket lagi, seadanya tiket kereta api merk apa saja gak masalah asalkan jurusan ke Jakarta.

Saya diminta untuk pindah ke gerbong restoran . . . biar gampang memantaunya . . . sebagai pesakitan saya, saya tidak terlalu terpengaruh dengan kasus ini . . .

Menjelang Stasiun Kutoarjo kondektur menghampiri saya,”Maaf pak, saya lupa Kereta Senja Utama Jogjakarta tidak berhenti di Stasiun Kutoarjo, tapi berhentinya di Stasiun Gombong. Gimana pak , apa sekalian turun di Stasiun Purwokerto saja ?!” Saya menyetujui sarannya, mengingat Stasiun Gombong adalah stasiun kecil sehingga peluang untuk bisa mendapatkan tiket ke Jakarta semakin kecil

Sekitar pukul 23.00 saya sampai di Stasiun Purwokerto. Begitu kereta berhenti saya langsung berlari ke loket dengan menyerobot melalui pintu masuk. Segera saya menuju loket satu dengan harapan bisa mendapatkan tiket kereta Senja Utama Jogjakarta yang barusan saya tumpangi.

Namun nasib berkata lain, saya tidak mendapatkan tiket kereta itu. Juga kereta-kereta lain yang menuju ke Jakarta.

Terlintas dalam benak saya untuk mencari penginapan di Kota Purwokerto dan melanjutkan perjalanan ke Jakarta esok hari dengan menggunakan kereta Fajar Utama Jogjakarta atau Sawunggalih Pagi. Namun niat itu saya urungkan.

stasiun kereta api Purwokerto, dini hari

Tiba-tiba saya ingin balik ke Klaten saja. Maka malam itu saya tidak jadi melanjutkan perjalanan ke Jakarta dan balik lagi ke Klaten dengan menggunakan kereta api Argo Lawu.

Gema adzan subuh menghias langit Klaten, saat saya kembali menjejakkan kaki di stasiun yang aku tinggalkan maghrib kemarin. Dua rokaat di musholla stasiun ku lalui dengan mata yang berat. Tak lupa wirid ku lantunkan, dan sepenggal do’a ku panjatkan kepada Ilahi Robbi. Kemudian dengan diantar tukang ojeg saya meluncur ke rumah.

Suasana lengang saat memasuki kampungku kembali. Dengan ditemani sayup-sayup suara adzan yang telat dikumandangkan saya terhenti sejenak di teras rumah. Rupanya istri dan anak-anak saya belum bangun. Saya mau mengetuk pintu agak ragu, karena ini pasti akan mengagetkan mereka. Persis di depan pintu, saya menelepon istri saya . . .

Saya diberondong berbagai pertanyaan oleh istri dan ketiga anak saya, ada apa kok balik lagi ? Anak saya yang nomor tiga biasanya paling susah dibangunkan subuh, pagi itu nampak kaget,”Saya kira tadi ada perampok,” celetuknya disambut tawa seisi rumah. “Sudah sana ke masjid dulu, mumpung belum komat,” kata saya kepada anak-anak. erekapun berangkat menuju masjid yang berjarak sekitar tiga ratusan meter dari rumah kami.

Dan pagipun menjelang. Semburat kekuningan memancar dari ufuk timur. Burung-burung ramai bersahutan membelah pagi, seakan tidak terpengaruh oleh gerimis pagi yang mulai berjatuhan. Mata hari enggan menampakkan kegairahannya, maklum musim penghujan. Namun sekalipun hari-hari di musim ini nampak kurang bergairah, bagi kami para penangkar burung, musim hujan adalah musim berkah. Di musim ini burung-burung cenderung aktif berproduksi, kecuali burung-burung yang tidak tahan dingin seperti burung kenari, love bird, dan berbagai jenis burung impor khususnya dari Afrika. Maka bagi penangkar burung jenis jalak, cucak rawa, kacer, dan murai batu, musim penghujan adalah musim datangnya rejeki . . .

Tak terasa setengah hari saya lalui hariku bergelut dengan urusan kandang. Memberi pakan, mengganti air mandi burung, mengecek telur dan beberapa kali menerima telepon soal burung jalak bali dan membalas WA yang masuk ke telephon. Itulah hari-hariku saat saya berada di rumah.

Siang hari sambil menjemput anak pulang sekolah saya mampir ke stasiun untuk membeli tiket kereta api Senja Utama Jogjakarta. Alhamdulillah tiket masih banyak, maklum ini hari Senin tiket kereta jurusan ke Jakarta dan Bandung memang masih banyak. Beda dengan hari Minggu. Di hari Minggu tiket kereta api dengan tujuan ke dua kota tersebut selalu ludes, bahkan beberapa pekan sebelumnya.

Minggu sore saya berangkat lagi. Malam itu saya kembali menyusuri rel kereta yang sama. Dengan menggunakan kereta yang sama, namun Alhamdulillah dengan nasib yang berbeda dengan perjalanan sehari sebelumnya.

Saat pemeriksaan tiket dan melintasi stasiun Wates saya kembali teringat pada dua momen yang telah memberiku “pencerahan” dalam hidupku kemarin; di mana hidup ini memang tidak sepenuhnya pararel dengan kehendak kita. Ada saatnya kita bakal dihadapkan pada kondisi yang sama sekali tidak kita kehendaki. Maka menyiapkan mental untuk bisa menerima semua keadaan yang terjadi, menjadi “lifeskill” yang semestinya kita miliki. Apa lagi sebagai tukang burung, hal itu sangat penting . . . agar kita bisa menjadi tukang burung yang tahan banting.

Duduk di sebelah saya, sebut saja Pak Rudi. Beliau baru tiba dari Temanggung untuk urusan mobil innova miliknya yang digadaikan temannya tanpa sepengetahuannya. Dua belas hari beliau melacak temannya yang awalnya beliau ketahui berdomisili di Bantul Jogjakarta, namun ternyata sekarang sudah menjadi Lurah di salah satu desa di Kabupaten Temanggung itu. Urusan mobil tidak selesai, beliau kehabisan bekal karena harus hidup di rantau orang tanpa sanak tanpa family, akhirnya beliau memutuskan untuk kembali ke Pamulang Tangerang Selatan dengan tangan hampa. Dalam hati saya bersyukur tidak mengalami kejadian seberat beliau.

Lama sekali kami mengebrol sampai akhirnya kantuk menyergap kami berdua. Saya minta ijin untuk menggelar alas tidur di kolong kursi kereta. Dan selebihnya kami menikmati tidur kami dengan cara kami masing-masing. Tidur yang sama-sama tidak pulas, karena tingkahi gemuruh suara lokomotif yang meraung-raung melaju dengan kecepatan maksimal dan goncangan gerbong yang meluncur mengejar paginya Jakarta . . .

Gema adzan subuh membangunkan saya. Aku bangun, ku tengok teman dudukku sudah tidak ada di bangku tempat duduknya lagi. Sudah pukul lima, tapi kereta baru memasuki stasiun Jatinegara. Kereta datang terlambat. Perjalanan sebenarnya tinggal satu stasiun lagi, tapi karena datangnya terlambat, membuat kereta terhambat memasuki Stasiun Jakarta Pasar Senen.

Lalu lintas pagimemang lalu lintas padat, karena banyaknya armada kereta listrik Jakarta. Akhirnya jarak Stasiun Jakarta Jatinegara – Stasiun Jakarta Pasar Senen yang mestinya bisa ditempuh dalam waktu lima belas menit, kali ini sampai memakan waktu satu jam. Pukul 06.10 menit kereta tiba di Stasiun Jakarta Pasar Senen.

Kini dengan berganti motor tua saya melanjutkan perjalanan membelah keramaian lalu lintas Jakarta. Syukurlah kerumunan lalu lintas di Tugu Tani belum terlalu padat. Setelah melewati Monas dan melintas melewati jalan depan kantor Gubernur Ahok, saya melanjutkan ke arah Tanah Abang Jakarta Pusat. Keramaian jalanan di depan pasar yang dulu identik dengan wilayah Haji Lulung ini sudah mulai menggeliat. Motor bututku ku pacu dengan kencang. Dengan kaki naik ke atas mesin, badan menunduk ke depan, kepala terbungkus helm cakil, saya membayangkan inilah Valentino Rossi yang sedang membetot gas di sirkuit Sepang Malaysia. Ngeeennnggg . . . .

Lima menit saya sampai di Pejompongan. Setelah memarkir motor di gedung yang biasanya saya menampung burung-burung saat transit di Jakarta, saya berjalan kaki menuju tempat kos.

Memasuki gang, saya menyempatkan membeli bubur ayam khas Jakarta. Orang-orang pada ramai berbincang soal pencurian mobil. “Habis ade pencurian mobil ya bang ?” tanya gue ke abang bubur. Busyeeettt . . . kenape gue bisa mendadak jadi betawi gini ye . . . mirip bang Ocid . . .ha ha ha . . .

Betapa kagetnya saya ternyata yang kehilangan mobil adalah juragan kos saya. Kejadiannya senin subuh. Waktu di mana seharusnya saya tiba di tempat kos, seandainya kemarin saya tidak salah naik kereta api.

Pagi itu, selesai jogging muter Bendungan Hilir sambil menenteng pepaya dalam plastic kresek berwarna putih, saya melihat sahabat saya Cak Sigit sedang berbincang dengan ibu kos. Saya nimbrung, rupanya ibu kos dengan air mata yang masih berderai-derai ( beneran ) menceritakan peristiwa senin subuh itu.

“Jadi sekitar jam tiga saya bangun. Wudhu untuk sholat malam. Saya melihat ke depan, dari kaca saya melihat ada dua orang di depan rumah. Saya tidak curiga apa-apa. Kemudian saya sholat malam,” begitu cerita ibu kos. Kami hanya menyimak, dan sesekali mengucapkan “Ooo . . .“ sambil manggut-manggut, sebagai tanda bahwa kami turut berempati.

Selesai sholat beliau kembali melihat ke depan. Dua orang itu masih ada di halaman. Dalam hati si ibu bertanya,”Ngapaian ya orang ini ?” Tapi tidak ada sedikitpun kecurigaan bahwa ini orang jahat. Menjelang subuh kedua orang tersebut nampak melakukan sesuatu pada mobil miliknya. Ibu kos masih belum berfikiran macam-macam.

Tepat adzan berkumandang ( posisi mobil ke masjid sekitar 6 meter ), masih dari dalam rumah si ibu melihat yang satu orang membuka pintu bagian belakang mobil dan masuk ke dalamnya. Yang satunya langsung menstater. Saat itu beliau baru sadar itu pencuri. Beliau langsung keluar dan berteriak,”Maling-maling . . . sambil mengejar mobilnya . . .!!!”

Namun teriakan di pagi buta itu seakan di telan sepinya pagi. Tak ada satupun tetangga yang meresponnya, mungkin mereka masih pada tidur. Di masjid baru ada satu orang yang sedang melantunkan adzan. Di pagi subuh itu pula beliau melaporkan kejadian itu ke Polsek Tanah Abang. Polisi segera menindaklanjuti denga melakukan olah TKP.

Sekitar pukul delapan pagi, penduduk berjubel menonton CC TV kos-kosan sebelah. Nampak dalam tayangan CC TV beberapa orang mondar-mandir sambil membawa senjata api, “Iya itu orangnya,” kata ibu kos memastikan bahwa maling yang subuh tadi beraksi adalah orang yang tertangkap dalam kamera itu.

Orang-orang ramai berbincang,”Untung ibu tidak keluar rumah waktu melihat ada maling tadi, kalau ibu keluar mungkin dia akan menodongkan senjata,” kata seorang bapak. Yang lain menimpali,”Seandainya maling tadi kepepet, pasti senjata apinya bakal di pakai untuk menembak.

Rupanya maling yang beraksi tidak hanya dua orang. Diperkirakan ada empat sampai lima orang malingnya. Yang dua orang beraksi menggasak mobil, yang dua orang lalu lalang dan seorang lagi menjaga pintu portal masuk gang.

Wah ngeri juga ya . . . saya membayangkan bahwa di pagi-pagi menjelang subuh saya biasa keluar menuju masjid yang letaknya hanya sekitar sepuluh meter dari tempat saya kos itu. Biasanya saya sampai di masjid sekitar sepuluh atau setengah jam menjelang subuh. Kadang hanya sempat sholat witir tiga rokaat. Kadang bisa selesai sebelas rokaat, terus adzan subuh dikumandangkan.

Senin subuh itu, seandainya saya tidak salah naik kereta, adalah waktu di mana saya seharusnya sampai di tempat kos. Bersamaan dengan waktu gerombolan lima orang pencoleng bersenjata api itu beraksi.

Akhir-akhirnya ini di Jabodetabek tengah hangat diberitakan peristiwa-peristiwa criminal yang menjurus kepada kekerasan. Belum lama ini di Pondok Aren Tangerang beraksi begal yang berusaha merebut motor korbannya, namun gagal dan tertangkap kemudian di hakimi massa. Bahkan saking beringasnya massa si begal yang tertangkap itu di siram bensin lalu di bakar. Ngeri ya . . .

Di Pamulang kejadian yang mirip juga terjadi, di mana seorang begal ramai-ramai di hakimi massa, untung polisi segera datang mengamankan. Jika tidak mungkin nasibnya juga tidak kalah tragis. Nampaknya suasana kota yang makin sumpek, kemapanan ekonomi yang semakin susah dicapai, jurang si kaya dan si miskin yang makin menganga membuat beberapa orang menjadi kalap. Awas ini Jakarta bang . . . mesti ati-ati . . .

Siang itu saya termenung, scnario seperti apa yang akan Allah berikan kepada saya lewat kesalahan naik kereta ini, hari Minggu sore kemarin ? Kalau tidak salah naik kereta, mungkin saya akan berpapasan dengan para maling itu. Tapi yang jelas scenario Allah pasti indah, sebab Allah memang Dzat yang maha indah ( Innallaha jamil, mayuhibbul jamal). Allahu a’lam . . .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline