[caption id="" align="aligncenter" width="533" caption="Mesin Politik vs Figur Popularitas (sumber:http://www.rimanews.com)"][/caption]
Pesta demokrasi pemilihan umum presiden (Pilpres) 2014 tinggal menghitung hari. Puncak dari pergantian kepemimpinan nasional memunculkan konstelasi yang menarik. Kompetisi menuju istana tentu di tunggu – tunggu masyarakat untuk memilih pemimpin baru di negeri ini. Seperti diketahui bersama kontestasi menuju RI 1 hanya menyisakan persaingan antara dua calon kuat. Prabowo – Hatta Rajasa melawan Jokowi – Jusuf Kalla. Prabowo – Hatta Rajasa yang di usung oleh Gerindra bersama koalisi merah putihnya Golkar, PPP, PKS, PAN dan PBB akan melawan Koalisi PDIP yang mengusung Jokowi – Jusuf Kalla dengan Nasdem, PKB, Hanura dan PKPI nya. Tinggal Demokrat yang memilih netral tetapi dalam rapimnas kemarin mengindikasikan kuat untuk merapat ke kubu Prabowo – Hatta Rajasa.
Melihat peta persaingan kedua kubu tersebut, di atas kertas koalisi Prabowo unggul di suara nasional dan parlemen di pemilu legislatif lalu. Gabungan koalisi merah putih mendapat 48,93% di bandingkan dengan Koalisi yang di usung Jokowi dengan PDIPnya yang mendapatkan 39,97% suara. Untuk di parlemen jika pasangan Prabowo – Hatta Rajasa menang akan disokong 52,21% (292) kursi dari 560 jumlah kursi parlemen dan Jokowi – Jusuf Kallaakan didukung 36,96% (207 kursi). Tetapi hitungan di atas kertas tersebut bukan harga mati, karena perkembangan yang terjadi, beberapa partai koalisi pendukung banyak mengalami perpecahan, beberapa tokoh partai tertentu ada yang berseberangan dengan keputusan resmi partai dan menyebrang ke kubu sebelah.
Di sisi lain, kecenderungan pemilihan pemimpin sejenis dengan level berbeda seperti Pilkada di negeri ini mengalami pergeseran. Pemilih tidak lagi loyal terhadap partai seperti di era orde baru. Kondisi ke-kini-an berbicara tidak ada lagi pemilih ideologis di dalam partai. Kecenderungan pemilih akhir – akhir ini lebih melihat kepada sosok figur siapa yang akan memimpin negeri ini. Melihat realitas yang terjadi dengan pergeseran karakter pemilih tersebut, Jokowi – Jusuf Kalla untuk sementara unggul. Keunggulan tersebut sudah dapat dibuktikan di Pilkada DKI Jakarta sebelumnya. Sosok figur Jokowi yang dekat dengan rakyat menjadi fenomena tersendiri sehingga beliau dapat amanah memimpin Jakarta.
Berangkat dari kondisi di atas, persaingan Pilpres 2014 kali ini antara Prabowo – Hatta Rajasa dengan Jokowi – Jusuf Kalla adalah pertarungan antara mesin politik melawan sosok figur. Koalisi dukung oleh sebagian besar partai akan melawan figur yang hari ini mempunyai popularitas di mata masyarakat. Terlepas dari visi – misi (yang menurut saya tentu ideal semua) kedua capres – cawapres tersebut, ini merupakan pertaruhan bagaimana mesin politik yang besar mampu menggiring masyarakat untuk memilih Prabowo – Hatta Rajasa atau mesin politik yang kecildengan alat sosok figur mampu merebut hati masyarakat.
Menjadi lebih penting adalah bagaimana Pilpres 2014 ini menjadi pemilu damai. Tentu peran serta masyarakat yang dewasa, berpendidikan dan mampu legowo menyikapi hasil apapun dari Pilpres 2014 kali ini. Baik Prabowo maupun Jokowi bukan manusia yang sempurna mereka hanya berupaya untuk mendapat amanah dari masyarakat. Kembali kepada diri kita masing – masing, sesuai dengan hati nurani, kita tetap wajib menggunakan hak pilih kita. Meskipun pada akhirnya, kita harus memilih sosok pemimpin terbaik dari yang buruk.
Jember, 3 Juni 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H