Lihat ke Halaman Asli

Arti Penting “Mental”, Belajar dari Kekalahan Spanyol

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Iniesta di hibur oleh teman sejawatnya di Barcelona Alexis (sumber: http://img.fifa.com)

Secara mental, kami tidak siap untuk bermain di kompetisi ini, meskipun secara fisik kami dalam kondisi yang baik” (Xabi Alonso)

Statement Xabi Alonso gelandang tim Spanyol yang merumput di Real Madrid dalam konfrensi pers seusai pertandingan antara Spanyol vs Chile dini hari tadi (19/06/2014). Pengakuan Alonso ini merupakan kebenaran di balik tersingkirnya Spanyol secara dini di Piala Dunia 2014. La Furia Roja sebagai juara bertahan Piala dunia dan pemegang rekor juara berturut – turut (Piala Eropa 2008, Piala Dunia 2010, Piala Eropa 2012) harus tersingkir secara tragis di Brasil. Dalam dua pertandingan awal babak penyisihan grup ini Spanyol haru menelan kekalahan 1-5 dari Belanda dan 0-2 dari Chile. 1 gol dan kebobolan 7 gol menjadi anti klimaks bagi tim Matador ini.

Espektasi tinggi yang dibebankan di pundak punggawa para pemain Spanyol ini menjadi masalah tersendiri bagi mental para individu pemain maupun secara tim. Sejarah panjang espektasi berlebihan yang melahirkan sebuah tekanan mental dan berujung kekalahan dalam dunia sepak bola internasional sudah tidak terhitung jari. Di level turnamen antar negara, final Piala Eropa 2010 di Belgia-Belanda menjadi saksi faktor mental menjadi biang kekalahan Italia dari Perancis. Italia yang mempunyai espektasi tinggi setelah mampu menekuk tuan rumah Belanda di semifinal harus menerima kenyataan pahit di kalahkan Perancis di perpanjangan waktu. Di menit 90 Italia sudah merasa juara setelah unggul 1-0 hasil dari gol Marco Delvecchio (’55). Menjadi mimpi buruk ketika masa injury time Sylvain Wiltord menyamakan kedudukan menjadi 1-1. Runtuhnya mental Italia di babak perpanjangan waktu mampu dikonversi menjadi gol oleh David Trezeguet dan perancis juara.

Di Piala Eropa 2004 pun terjadi, espektasi berlebihan tuan rumah Portugal didepan pendukungnya sendiri menjadi beban mental yang akhirnya mengkandaskan ambisi Portugal untuk jawara di rumah sendiri. Adalah si kuda hitam Yunani pada waktu itu sebagai aktor di balik gagalnya tuan rumah merebut Piala Eropa 2004. Bayang-bayang kekalahan di partai pembuka juga oleh Yunani 1-2 dan espektasi berlebihan menjadi faktor Portugal bermain tidak lepas dan rela gelar Piala Eropa ada di tangan negeri seribu Dewa tersebut. Dan masih banyak lagi, kasus yang sama terkait dengan “mental” pemain maupun tim yang menjadi biang kegagalan sebuah tim merebut gelar juara, semisal Final Liga Champion 1999 antara MU vs Muenchen (0-1, 2-1) dua gol kemenangan yang di cetak di masa injury time (90+1. 90+3), Final Liga Champion 2005 antara AC Milan vs Liverpool (3-0, 3-3) dengan adu penalty 2-3. Dan Final Liga Champion 2014 Real Madrid vs Atletico Madrid (0-1, 1-1) gol injury time 90+3 dan 3 gol di perpanjangan waktu.

Mental seperti inilah yang menjadi biang dari kekalahan Spanyol atas Belanda dan Chile sehingga mereka harus tersingkir sejak awal di Piala Dunia 2014. Espektasi gelar juara bertahan sekaligus sebagai tim terbaik dunia menjadi beban mental tersendiri bagi para pemain Spanyol. Di tambah lagi, sejak melawan Belanda hingga Chile line up utama yang dipasang oleh Vicente Del Bosque adalah Barcelona sentris yang notabene secara mental mereka sudah kalah di level klub sejak Liga Champion 2013 kemarin, ketika harus hancur di tangan Muenchen dengan agregat 0-7.

Mental sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bersangkutan dengan watak dan batin manusia. Dalam konteks ini mental berarti keadaan dan aktivitas jiwa dalam menyikapi kondisi tertentu yang menekan kondisi jiwa tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya sikap pembagunan keadaan dan aktivitas jiwa yang disebut dengan mentalitas. Mentalitas menjadi penting bagi siapa saja, termasuk olahragawan seperti pemain bola.

Menjadi lebih penting lagi adalah mentalitas juara harus di milikinya. Mentalitas juara ini biasanya akan membangun dengan sendirinya sikap percaya diri, pantang menyerah dan rendah hati. Sikap mentalitas juara inilah yang harus dimiliki setiap manusia dalam mengarungi hidup, dan menjadi lumrah ketika manusia di atas atau pusat kuasa kadang lupa diri dengan sejatinya manusia. Tanpa sikap mentalitas ini, akan dengan mudah dan cepatnya mereka akan jatuh lagi di lubang yang terdalam. Belajar dari kekalahan Spanyol, mempunyai mentalitas juara merupakan hal penting yang harus dimiliki kita semua agar tidak jatuh ke lubang yang dalam.

Jember, 19 Juni 2014




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline