Lihat ke Halaman Asli

Pairunn Adi

Penyuka fiksi

Duka Sulawesi Tengah

Diperbarui: 6 Oktober 2018   12:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ketika tanah-tanah murka
Menelan segala yang berdiri di atasnya
Guncangannya pun penuh luka
Hadirkan air berbah-bah dari samudra
Menerjang segala yang ada
Tanpa ampun; semuanya.

Jerit dan tangis bersambungan
Membelah langit
Yang bintang-bintangnya mati
Kemudian mengetuk pintu-pintu surga
Mencari keberadaan-Mu.

Ah, entah apa
Dan mengapa
Bumi memurkai manusia
Sedang Engkau diam di atas sana
Mungkinkah Kau bosan
Dan muak
Pada dosa-dosa yang semakin meraja-lela?

Ataukah sudah memudarnya norma?
Dalam kekalutan pun masih banyak nista
Memangsa yang tak berdaya
Saling menikam sesama.

Rerumputan hanya membisu
Menatap mayat-mayat berserakkan menindihnya
Sedang yang masih tersisa
Tanpa daya
Harapkan uluran tangan yang tak jua memanjang
Harap pahlawan yang tak jua datang
Hanya doa dan belasungkawa yang terdengar
Tapi tak membuat perut mereka kenyang
Tak membuat hati mereka tenang
Tak membuat meraka merasa diperhatikan.

Burung-burung gagak hitam
Bertengger di atas puing-puing bangunan
Diam saja
Mungkin menunggu saat
Akan menjual derita mereka
Pada dunia.

Malang, 6 Oktober 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline