Lihat ke Halaman Asli

Pairunn Adi

Penyuka fiksi

Puisi | Cinta Terakhir

Diperbarui: 10 September 2018   17:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay.com


Semisal angin, ia tak pernah ingin beringsut dari sudut ke sudut dunia, semisal hujan, ia tak ingin jatuh menimpa bumi. Kalau cinta telah mengajarkan kasih, tak pernah ada rupa. Kadang, pemahaman yang salah, seribu rupa terbentuk.

Ketika merah luka tersaput di langit, sangat kontras dengan hijaunya sendu, pun birunya rindu yang mencuatkan ego dalam bingkai rakasasa durjana. Masihkah ada yang sesempurna Sang Pencipta?

Pernah air berhenti mengalir, angin berhenti bertiup ketika melihat Adam pertamakalinya melakukan dosa, jatuh cinta yang menjadikannya diturunkan ke bumi.

Mereka tersentak ketika mendengar teriakan Hawa di balik rumpun ilalang. Sejak itu mereka bergerak lagi, mengebara, mencari ujungnya dunia dan tak pernah kembali.

"Kau tak pernah mengerti, setiap inci sepiku, setiap tetes mimpiku, mungkin di matamu salah, mungkin di matamu aku hanya sebongkah batu, tapi, Wan, ini terjadi bukan atas kehendakku," perempuan berkerudung itu meraba hatinya yang kadang terasa perih.

Sejak awal, muasal dosa adalah cinta, tapi ia bagai anggur, bagai candu yang selalu diinginkan. Entah mengapa tak pernah bisa menolak ketika ia hadir.

"Seumpama ada cinta yang melebih cintanya Romeo kepada Juliet, aku akan meminum racunmu agar melegenda, Wie."
***
Malang, 9 September 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline