Lihat ke Halaman Asli

Pairunn Adi

Penyuka fiksi

Surat Merah Jambu [Untuk yang Kusebut Dik]

Diperbarui: 7 September 2018   16:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay.com


Hari ini, aku bertengkar dengan matahari. Ia merampas mimpiku, semalam, ketika sedang bercumbu denganmu. Padahal, mimpi itu untukmu, yang pernah aku janjikan itu.

Kuharap kau tak marah, Dik. kalaupun marah, marahlah pada waktu. Waktu yang telah mempermainkan kita. Aku pun juga jengkel padanya.

Dik, ketika waktu itu, harusnya tak memberi cerita. Tapi, entah mengapa semua berjalan tanpa sketsa. Sampai kini aku masih menunggu, di gerbang kota itu, ketika kau tinggalkan.

Pada sepi, selalu kubercerita rindu. Pada angin selalu kucari kabar. Pada malam selalu kuberkata menunggumu.

Tapi, Dik, itu sia-sia. Aku tahu itu, tapi hati tak mau mengerti. Haruskah selamanya bermimpi? Karena kau jauh di sana dalam penjara janji, terikat selembar kertas yang distempel KUA.

Mau apa lagi, tak mungkin melipat jarak, tak mungkin bisa. Tapi, tak apalah, cinta akan selamanya cinta, aku akan menunggumu di kehidupan berikutnya.

Di batas kota
Bulan separuh pergi
Tinggalkan resah
Sepasang embun bisu
Sepi memagut rindu

Jalanan lengang
Kunang kunang menangis
Sesali rasa
Menanti bara ungun
Tanpa sebatang kayu

Malang, 7 September 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline