Lihat ke Halaman Asli

Pairunn Adi

Penyuka fiksi

Perempuan Pembenci Hujan

Diperbarui: 21 Oktober 2016   10:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay.com

Sari mendongak, katika melihat tetes-tetes bening mulai berjatuhan satu per satu. Ia manatap langit yang mulai menghitam. Senyum mengembang, ia tengadahkan tangan, menyambut tetesan-tetesan itu.

Seumur hidup, Sari belum pernah main hujan. Karena sejak kecil, Dokter melarangnya. Sedang ia tak pernah tahu alasannya.

"Hujan hampir turun, Sar, ayuk pulang," ajak Bram sambil menarik tangan Sari.

"Untuk sekali ini, aku ingin bermain hujan denganmu, Bram. Apa pun yang terjadi, aku siap."

"Ta, tapi..., Lukamu belum sembuh betul, Sar, bisa infeksi."

"Aku sudah sembuh, Bram. Setelah operasi, keadaanku semakin membaik. Aku sangat ingin merasakan tubuhku dibasahi air hujan, bersamamu."

Sari bersikukuh, ia sangat merindukan saat-saat seperti itu, di taman, bermain hujan bersama orang yang ia cintai.

Bram tak tega melihat wajah Sari yang memohon, hatinya luluh. Dan ia pun menunggu tetes-tetes bening itu turun lebih lebat. Sari begitu gembira menyambut hujan yang mulai merapatkan rintiknya. Ia menarik-narik tangan Bram, mengajak berlarian ke sana ke mari. Selayaknya bocah kecil yang mendapat mainan baru

Ketika hujan semakin lebat, Bram terjatuh saat berlarian menemani Sari. Ia tak bangun lagi. Sari panik dan membawanya ke rumah sakit, tapi, Bram tak mau bangun untuk selamanya.

*****

Sari mengusap kaca jendela kamar yang buram oleh desahan napasnya. Setiap hujan turun, ia selalu memandangi rinai yang menghunjam ke bumi, bersama penyesalan, kesedihan, dan kenang yang tak pernah terlupakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline