Lihat ke Halaman Asli

Pairunn Adi

Penyuka fiksi

Cinta di Atas Kereta Gajayana

Diperbarui: 11 Oktober 2016   21:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay.com

Sejak berangkat, jantungku berdetak tak teratur. Itu karena harus melakukan perjalanan dengan Herlang, lelaki yang telah memikat hatiku sejak lama.

Entahlah, dadaku bergemuruh, riuh, seperti suara kereta api yang kami tumpangi. Resah, gelisah, cemas, sekaligus senang, bercampur--aduk dalam hati, membuatku selalu salah tingkah bila beradu tatap dengannya.

Herlang, lelaki yang sempurna di mataku. Tampan, tinggi tegap, pendiam,dan juga lembut orangnya. Suami idaman.

Membayangkan lamanya perjalanan yang harus kami lalui, sepertinya aku tak sanggup, empat belas jam, dari Jakarta menuju Malang, bukanlah waktu yang singkat, ketika harus menahan gejolak di jiwa, namun sekaligus merasa nyaman berada di sampingnya.

Suatu gambaran yang kacau, karena memang itu yang aku rasakan.

"Nih, kamu pegang, buat jaga-jaga kalau kamu mabuk, Asyah," Herlang mengulurkan kantong kresek berwarna hitam.

"Hemmm, sepertinya aku nggak akan mabuk, Mas. Keretanya nggak seperti waktu berangkat kemarin," sanggahku, agak malu.

"Ya udah, nanti kalau merasa mual, kamu ambil di tas, ya?"

Kereta baru berjalan sekitar lima belas menit. Aku malu duduk berdampingan dengan Herlang. Tapi, harus, karena memang itu tempat duduk buat kami. Ia sangat perhatian, namun pendiam itu membuat aku jadi serba salah.

"Duh, Mas, masak aku yang harus selalu mulai dalam percakapan? Kehabisan bahan, nih," batinku.

Herlang memang aneh, lebih pendiam saat berdua, padahal waktu berangkat bersama rombongan tidak sependiam sekarang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline