Lihat ke Halaman Asli

Pairunn Adi

Penyuka fiksi

Cerpen | Perempuan Bermata Bulan

Diperbarui: 12 September 2016   23:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: pixabay.com

Kutemukan selarik lengkung gandrung pemilik lagu sepi, sedikit bimbang ia masih juga menimang dengung rindunya sendirian. Menatap wajah kekasih di dinding kamar, menertawainya, lalu kembali berkidung sendiri, seorang diri.

Ia perempuan paruh baya, secantik bunga anggrek bulan, dengan rambut hitam, panjang bergelombang. Hidung mancung, bibir tipis, kulit putih dan matanya seperti purnama. Bagai Dewi Shinta, kecantikannya teramat sempurna.

Ia tak pernah terkena sinar mentari, semenjak Sang Kekasih pergi, yang tak pernah kembali lagi. Rindunya laksana ditawan Sang Rahwana, mendekam dalam kalbu, selalu berontak ingin keluar dari dadanya yang menggiurkan hasrat lelaki.

Bayangan wajah sang kekasih masih memenuhi langit-langit, samar, tapi senyumnya jelas mempesona. Senyum itulah yang meluluh-lantakan hatinya.

Secakup jarak tak cukup menelan debar yang tumpah pada nanar cekung mata. Ia masih percaya bahwa cinta bisa berwajah apa saja, bahkan pada nasib paling piatu sekalipun. Tetap, rindu itu masihlah canabi, masihlah madu, meski kelat melebihi empedu.

Sedetik, sehari, sebulan, bahkan setahun, ia menanti dengan debarnya di dada. Impiannya masih tersimpan di sudut kamar, impian yang menguatkan hatinya untuk bertahan.

Kata-kata kembali meraba dada, kali ini lebih buta dari yang lalu, legit namun pahit. Ia menelannya dengan rela dan masih berharap kekasih akan tiba di pematang petang. Membawa wangi keringat matahari, menyablim senja dengan pelukan hangat. Bersatu dalam detak kian padat. Lekat tak terpisah.

Perihal mimpi nanti malam, matanya tentu bulan, angannya lebih bintang.

Dan sepuisi pertemuan bukan lagi basa-basi. Ia menari di sana bersama lilin dan aroma rose kesayangan kekasihnya, di atas dangau tua yang ditinggalkan cukup lama.

Sementara ia tak pernah keluar kamar, Perempuan Tua yang rambutnya separuh putih, sangat setia membasuh sepinya. Kerut kening tak dihiraukan, ia masih menyalakan asa pada perempuan paruh baya itu.

"Kembalilah, Nduk..., jangan menunggu yang sudah pergi. Lihatlah, rambutku telah memutih, tak kan lama lagi aku pun akan pergi," ujar Perempuan Tua lirih.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline