Apa yang terjadi di Bogor? Opini WTP ditukar Suap?
Namanya juga diperiksa atau diaudit, tentu ingin hasilnya bagus. Kalau ternyata hasilnya tidak bagus, dicoba untuk menyuap. Karena sudah lebih dari 80% dari 542 pemda di Indonesia, hasil auditnya WTP-Wajar Tanpa Pengecualian, maka kalau ada pemda yang tidak WTP pasti gengsinya anjlok. Apalagi kalau sudah 6 tahun berturut turut dapat WTP. Tiba-tiba tahun ini tidak WTP, bisa jadi dibilang kepala daerahnya bermasalah.
Padahal WTP itu kan bukan berarti keuangan yang diperiksa benar 100%. Bila ada temuan hasil audit bisa tetap mendapat opini WTP asal temuan tidak materil. WTP juga bukan berarti tidak ada korupsi. Karena audit tahunan dengan hasil opini audit ini lebih memastikan kepatuhan. Jadi asal sesuai prosedur, seluruh bukti memadai, maka tidak mengganggu WTP. Disebut wajar karena auditor nya juga tidak memeriksa semua bukti-bukti keuangan dan cek fisik ke lapangan. Tidak ada waktu dan SDM. Jadi dipilih beberapa dinas atau proyek saja dan dianggap sudah mewakili. Prosedur sampling ini memang diperbolehkan.
Laporan keuangan pemda yang diperiksa berisi penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan bermacam-macam sumbernya. Misalnya, penerimaan pajak daerah yang berasal dari hotel dan restoran. Tentu tidak mungkin auditor memeriksa seluruh hotel dan restoran yang ada. Jadi dilakukan sampling saja.
Pengeluaran pemda dilakukan oleh Dinas-dinas dalam bentuk anggaran Dinas. Dalam dinas, anggaran itu dibagi jadi anggaran proyek. Bisa jadi dalam satu pemda terdiri dari puluhan dinas dan ratusan proyek. Jadi dilakukan sampling atas proyek-proyek yang akan didalami. Biasanya dinas PUPR pasti akan termasuk pemeriksaan dan sampling. Karena banyak proyek dan anggaran besar.
Beberapa skenario dalam audit keuangan tahunan pemda. Dan kalau sampai terjadi pemberian suap, tentu dua pihak harus sepakat dimuka. Kalau pemerasan, auditor menggunakan wewenangnya untuk memberi opini. Kalau sudah diperiksa, hasilnya bagus dan opininya WTP, pemda 'berterima-kasih' dengan memberi uang ke auditor, pemberian ini gratifikasi.
Skenario pertama, auditor membawa draft temuan hasil audit yang menurut auditor bisa berujung pada opini bukan WTP. Pemda kuatir kalau tidak WTP. Maka diminta agar opini tetap WTP dan auditor setuju.
Kedua, suap bentuk lain yang lebih elegan. Pada proses sampling auditor dan pemda sudah paham proyek-proyek yang biasanya bermasalah dan pasti jadi temuan audit. Jadi sampling 'diatur' bersama auditor agar jangan kesana. Tentu dengan imbalan tertentu ke auditor. Biasanya pihak kontraktor diminta dana agar tidak kena sampling proyek yang dikerjakannya. Jadi mulus semua karena sampling tidak menunjukkan temuan/masalah. Ujungnya tentu WTP dan auditor menerima suap.
Ketiga, temuan audit sebenarnya tidak cukup materil untuk bisa merubah opini audit. Tapi auditor berniat 'nakal'. Berusaha mendramatisasi temuanya dan mengancam akan berujung pada opini. Pemda tentu tidak punya kuasa untuk protes atau merubahnya. Paling maksimum hanya menuliskan paragraph keberatan dari pihak pemda sebagai yang diperiksa. Ketika auditor minta imbalan agar temuannya lebih 'lunak' dan pemda melayaninya maka terjadilah kesepakatan suap.
Temuan audit ini bisa dilihat oleh auditor sebagai materil, tapi oleh auditor lain bisa dilihat tidak materil. Karena auditor selalu menggunakan yang disebut professional judgment nya. Jadi auditor nakal bisa memanfaatkan judgementnya sebagai alasan untuk mengatakan temuannya materil.
Dari kasus 2 kejadian beruntun di Bekasi dan Bogor, oknum auditor BPK diduga 'memperdagangkan' opini hasil audit dengan imbalan uang. Tinggal didalami saja, apakah memang temuan yang digunakan untuk mengancam opini benar temuan yang materil. Atau justru terjadi penyimpangan keuangan yang materil di pemda dan ditemukan oleh auditor BPK. Pihak pemda berusaha agar temuan tadi tidak diungkap dalam laporan audit dan tidak berujung pada perubahan opini. Dengan imbalan uang tentunya.