Lihat ke Halaman Asli

Resensi Buku "Revolusi dari Desa"

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Resensi Buku “Revolusi dari Desa”

Identitas Buku

Penulis: Yansen T.P.

Editor: Dodi Mawardi

Penerbit: PT Elex Media Komputindo

Tahun Terbit: 2014

ISBN: 978-602-02-5099-1

Jumlah Halaman: 180 + xxv

Buku ini merupakan karya yang istimewa dari seorang akademisi sekaligus praktisi. Penulisnya adalah Yansen T.P. Ia juga merupakan seorang Bupati Malinau di Kalimantan Utara. Buku ini membahas konsep dan praktik Gerakan Desa Membangun (Gerdema) di Malinau. Sekretaris Daerah Malinau Adri Patton menuliskan testimoninya tentang buku “Revolusi dari Desa” sebagai berikut:

“Lahirnya Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2004 justru memberikan penguatan dan landasan hukum terhadap pelaksanaan GERDEMA, yang notabene telah diimplementasikan tiga tahun lebih awal dari Undang-Undang Desayang baru disahkan pada 18 Desember 2013. Maka, dari itu, tidak berlebihan jika saya katakan bahwa untuk membangun Indonesia dari desa, perlu belajar dan melaksanakan kajian-kajian empiris serta teoritis di Kabupaten Malinau.”

Kelebihan dan Kelemahan Buku

Ada empat kelebihan buku ini. Pertama, buku ini bukan hanya sekadar gagasan semu yang belum teruji, tetapi gagasan yang sudah teruji di lapangan. Jadi, buku ini dapat jadi rujukan para pemerintah daerah lainnya di Indonesia karena merupakan hasil dari pengalaman seorang bupati yang sukses meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat di berbagai desa. Kedua, secara konseptual buku ini menawarkan pendekatan yang berbeda dalam pembangunan, yaitu pendekatan bottom-up sebagai tindak lanjut perencanaan partisipatif. Masyarakat Malinau terlibat aktif dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes). Tidak berlebihan jika buku ini menuliskan “Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya Kepada Rakyat” sebagai subjudul buku ini. Selama ini pembangunan desa kurang berhasil karena pendekatannya top-down. Pemkab Malinau bahkan telah melimpahkan 31 kewenangan kepada setiap kecamatan dan menyerahkan 33 urusan kepada pemerintah desa. Penyerahan kewenangan dan urusan subsatansinya dapat mengubah tatanan masyarakat desa, termasuk dalam mengatasi persoalan kemiskinan dan pengangguran. Ketiga, bahasa buku ini cukup mudah dipahami. Meski buku ini mengkaji topik kebijakan publik yang kurang menarik bagi sebagian besar masyarakat awam, buku ini ternyata cukup banyak menyajikan metafora atau perumpamaan yang mudah dicerna. Keempat, buku ini juga cukup argumentatif dengan sejumlah data-data faktual dan analisis yang disajikan. Data statistik menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia tinggal di desa, yaitu 65%. Kemiskinan mental masyarakat Malinau merupakan tantangan yang disadari penulis buku ini. Sejumlah sikap negatif masyarakat desa di Malinau umumnya hampir sama dengan ciri masyarakat desa yang kental dengan adat. Selain kurang responsif terhadap perubahan, masyarakat desa di Malinau juga suka menunda pekerjaan, kurang menghargai waktu, tidak tahu prioritas—dalam masyarakat Dayak Lundayeh ada istilah ”na kareb” atau “tidak ada waktu”, padahal sesungguhnya mereka memiliki cukup banyak waktu.

Ada dua kelemahan buku ini. Pertama, yaitu penyajiannya kurang menarik. Sebaiknya, agar lebih mengalir dapat disajikan dalam bentuk reportase. Tulisan dalam bentuk reportase lebih tajam dan tidak terkesan berlebihan dalam memuja sebuah pencapaian seseorang atau sebuah program kerja. Pada halaman 119 menyatakan demikian:

“Keberhasilan GERDEMA sangat ditentukan oleh peran lembaga dan birokrasi di desa. Gerakan akan menjadi lebih baik dan maksimal apabila terwujud penguatan kelembagaan yang ada di desa. Upaya yang dilakukan misalnya membina lembaga ekonomi desa seperti koperasi, UKM, dan unit-unit ekonomi swasta (seperti Credit Union, Badan Perkreditan Rakyat, Kantor Kas Bank Swasta, dan lain-lain).”

Kedua, kelemahan buku ini yaitu tidak menyajikan daftar pustaka. Kelemahan ini sangat mendasar. Kita mengetahui penulis selain seorang praktisi—seorang bupati, juga seorang akademisi. Penulis buku ini cukup sering mengutip istilah manajemen. Sebaiknya buku ini disertai daftar pustaka. Daftar pustaka bukan hanya sekadar untuk menambah bobot ilmiah sebuah tulisan. Namun, kata orang bijak, “Daftar pustaka menandakan tanda terima kasih penulis kepada sejumlah orang yang berjasa sehingga ia mampu melahirkan sebuah karya”. *** (Pagar Sianipar, guru SMAK 5 PENABUR Jakarta)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline