Pemberitaan terkait aksi demonstrasi sempat menjadi pembicaraan hangat di Indonesia dalam beberapa waktu belakangan. Aksi yang dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat, warga sipil, mahasiswa, hingga pelajar, digadang-gadang menjadi kebangkitan reformasi 1998 yang sempat mati.
Berlangsung pada tanggal 23-24 September dan dilanjutkan pada 30 September 2019, aksi ini dilatar belakangi adanya keresahan terkait beberapa Rancangan Undang-undang (RUU) dengan konten pasal yang multi tafsir, seperti RUU KUHP, RUU Permasyarakatan, RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, dan adanya beberapa RUU penting yang justru abai untuk diresmikan.
Hangatnya perbincangan terkait aksi ini tak lepas dari ramainya pemberitaan yang dilakukan oleh media. Tak bisa dipungkiri, media massa menjadi salah satu alat yang digunakan untuk menyebarkan informasi dan perantara komunikasi dalam masyarakat yang semakin modern.
Ketika aksi demonstrasi terjadi pada tanggal-tanggal tersebut, media massa begitu gencar melakukan pemberitaan, baik itu dalam bentuk tulisan, video reportase, fotografi, dan sebagainya.
Momen haru, hingga kondisi yang ricuh tak luput dari pemberitaan media massa. Pemberitaan yang terus menerus inilah yang akhirnya menyebabkan masyarakat menaruh banyak perhatian pada kegiatan aksi yang tengah dilakukan.
Memang, secara sederhana, media massa bertugas untuk menyajikan informasi. Pertanyaannya, apakah media massa sudah melakukan cara yang tepat dalam melakukan penyajian informasi tersebut? Pada dasarnya, dalam melakukan tugasnya, media massa tidak menyajikan keseluruhan dari konten informasi.
Dalam sudut pandang psikologis, media cenderung menyajikan suatu isu yang seringkali dirujuk sebagai pandangan (spin). Spin di sini mengacu pada sudut pandang atau perspektif yang dirasa menarik dan bernilai jual di mata pembaca.
Bila difokuskan pada isu politik misalnya, kebanyakan, isu politik memiliki beberapa elemen. Namun, media massa, terutama yang bersifat komersil, cenderung berfokus hanya pada satu atau dua elemen saja. Elemen-elemen tersebutlah yang kemudian mendapatkan atensi. Atensi pada satu atau dua elemen ini, bisa saja menimbulkan perdebatan karena atensi mempengaruhi sudut pandang dari pembaca yang tentunya beragam.
Selain itu, adanya citra yang jelas dalam liputan, menurunkan informasi dan kompleksitas kognitif tentang isu terkait. Citra di sini sebenarnya masih merujuk pada elemen atau sudut pandang tertentu yang ingin diliput dan diangkat sebagai konten oleh media.
Contohnya, bila melihat pada konteks aksi terkait keresahan pada RUU dengan pasal karet dan RUU krusial yang tidak kunjung diresmikan, ada kecenderungan yang dilakukan oleh media massa untuk mengambil sudut pandang pada aksinya saja. Padahal, terdapat proses panjang sebelum berjalannya aksi demonstrasi seperti yang banyak kit saksikan, dari diskusi data, konsolidasi, pembuatan pernyataan sikap, hingga aksi.
Informasi ini bukan tidak mungkin memunculkan dan membangun persepsi publik yang memandang kegiatan aksi sebagai sebuah ajang tanpa esensi. Padahal, ada banyak hal yang ingin disuarakan dalam sebuah aksi demonstrasi. Dengan kata lain, informasi yang dipangkas, dapat menurunkan kognitif yang dimiliki pembaca sehingga sudut pandang yang mereka miliki menjadi lebih sempit.