Lihat ke Halaman Asli

T'ajil, T`ajil dan Latah

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1343899199878112092

T'ajil dan T`ajil adalah dua kata dari bahasa arab. Keduanya merupakan bentuk masdar dari'aj ja la (عَجَّلَ) dan `aj ja la (أَجَّلَ). Masdar adalahbentuk kata kerja yang di bendakan. Sebagai perbandingan, dalam terminilogi gramatikal inggris, masdar dikenal dengan istilah gerund. Namun kedua kata ini mempunya arti yang berbeda bahkan bertolak belakang. T'ajil adalah derivasi dari kata kerja 'a ja la (‘ain, jim dan lam) yang mempunyai arti bergegas, bersegera, cepat-cepat, tergesa-gesa, buru-buru. Sedangkan T`ajil dari kata `a ja la (hamzah, jim dan lam) mempunyai arti menunda, mengundurkan, menangguhkan, dan membelakangkan.

Makna T'ajil dalam kontek puasa ini adalah penyegaraan seseorang -orang yang berpuasa- untuk berbuka puasa ketika waktu magrib tiba. T'ajil merupakan sebuah kegiatan yang dianjurkan (sunah) bagi setiap orang yang berpuasa ketika masuk waktu berbuka. Selain dari sisi makna, dari sisi hukum pun T`ajil -mengundurkan berbuka ketika waktunya tiba- mempunyai efek berlawanan. T`ajil adalah perbuatan yang tidak dianjurkan (makruh).

Latah dalam Berbahasa

Perhatikan dua kalimat berikut ini:

  1. “Amran bagi-bagi T'ajil untuk warga komplek Ciasin”.
  2. “Di masjid At-taqwa hanya menyediakan T'ajil saja”.

Dalam kalimat pertama ada kesan bahwa T'ajil ini adalah makanan yang bisa di bagi-bagikan. Dalam kalimat kedua ada kesan bahwa itu makanan-makanan ringan. Padahal ketika seseorang menyegerakan berbuka apapun itu disebut T'ajil, bahkan nasi sekalipun. Walaupun mengawali berbuka dengan yang manis-manis atau air putih itu di anjurkan (sunah).

Sering kali sebagian dari kita (orang indonesia) menggunakan istilah-istilah asing (selain bahasa indonesia) menyalahi tujuan perkataannya. Contoh, “aduh gua boring ni”. Kemungkinan besar, tujuan perkataan itu adalah menyatakan bahwa dia bosan bukan membosankan.

Penulis menduga kesalahan-kesalahan tersebut karena sebagian dari kita menirukan apa yang didengar tanpa memperdulikan kepentingan ‘akademis’. Kita hanya ‘hafal cangkem’. Kesan dan image lebih lebih prioritas dari sekedar penggunaan istilah-istilah bahasa sendiri –bahasa indonesia. Semoga saja kita tidak menjadi bangsa yang latah dalam berbahasa!

Bersambung ke “Bahasa Arab Bukan Bahasa Islam”

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline