Lihat ke Halaman Asli

The Jakarta Post: Media Anti Islam?

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Kekerasan yang mengatas namakan agama sama sekali tidak bisa dibenarkan. Sebelumnya penulis mengkritisi bagaimana ideologi Hijbut Tahrir Indonesia yang bisa menghancurkan persatuan bangsa Indonesia. Seringkali penulis mengkritisi tindakan anarkis dan penghakiman terhadap individu dan kelompok atas nama agama. Namun hal ini bukan berarti bahwa kelompok atheis, ataupun penganut agama lain berhak dengan sewenang-wenang menghina Islam. Terlebih dampaknya adalah pecahnya persatuan dan persaudaraan bangsa Indonesia.

Apakah Islam perlu dibela? Penulis tegaskan, Islam tidak membutuhkan perlakuan apapun untuk menjadi mulia. Islam adalah agama yang diturunkan untuk mengangkat derajat manusia. Islam turun untuk memuliakan manusia, tidak terkecuali. Tidak tersekat oleh agama, tidak terbatas bangsa dan tidak terhalang oleh apapun. Islam agama cinta damai dan mendamaikan. Kemudian ada pemeluknya yang berbuat tidak sesuai ajaran Islam, maka jangan menyalahkan Islam. Seperti halnya pembataian terhadap umat Islam oleh umat Budha di Myanmar. Juga pembantaian zionis Israel terhadap umat Islam di Gaza. Apakah kita harus membunuh dan mengasingkan pemeluk agama Budha dan Yahudi? Jawabannya Tidak. Yang bersalah bukan agamanya, tapi pelakunya.

Andai saja seluruh dunia berserta isinya menghinakan Islam, atau sebaliknya. Kemuliaan Islam tetap tidak akan menurun dan meningkat. Andai semua penganut Islam melakukan kejahatan, atau sebaliknya. Di hadapan Allah, Islam tidak terpengaruhi oleh kebaikan dan kejahatan penganutnya.

Namun fitnah dan kebohongan yang di utarakan ribuan kali akan menjadi sebuah ‘kebenaran’ -lebih tepatnya dianggap benar. Ketika sebuah media mainstream di Indonesia tanpa hati-hati mengangkat karikatur yang menyandingkan lafadh ‘لا إله إلا الله’ dengan sebuah tengkorak tentu ini mengusik pemeluk agama Islam. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh The Jakarta Post edisi 3 Juli 2014.

Sekali lagi, Islam tidak membutuhkan pembelaan apapun. Namun pemeluk Islam membutuhkan keadilan dan kebenaran. Kita semua mengetahui, bagaimana akibat yang ditimbulkan dari pemberitaan media barat tentang Islam. Islam dianggap agama teroris. Islam dicitrakan sebagai agama yang cinta kekerasan dan anarkis. Akibatnya kita bisa melihat bagaimana para pemeluk Islam di prancis, Inggris, Amerika dan negara-negara Eropa lain diperlakukan dengan tidak baik. Mereka semua diintimidasi, diasingkan dan dibatasi hak-hak kemusiaannya.

Apakah The Jakarta Post mempunyai agenda demikian? Apakah The Jakarta Post merancang agar bangsa Indonesia dan dunia membenci Islam? Kalau demikian adanya, maka seharusnya pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap The Jakarta Post; baik perdata maupun pidana.

Harus Ada Sangsi; Tidak Hanya Maaf

Seperti diberitakan di Kompas.com (8/7/2014), redaksi The Jakarta Post telah membuat permintaan maafnya dan menarik karikatur editorial yang dimuat pada halaman tujuh edisi kamis pekan lalu.

Hemat penulis, dua sikap itu tidak cukup. Alasannya sebagai berikut;

1.Kalau memang ‘kata maaf’ dan ‘menarik editorial’ sudah cukup untuk menebus kekeliruan –katanya kekeliuran- maka setiap media bahkan warga di Indonesia berhak dan bebas melakukan fitnah baik terhadap agama, suku atau ras lain. Lantas kemudian ada yang komplain, maka kita tinggal minta maaf dan menarik berita fitnah yang kita buat.

Karena dasar itu, maka seharusnya the Jakarta post malakukan hal lebih. Misal, sebagai konsekuensi atas kesalahannya The Jakarta Post sengaja menerbitkan tentang Islam yang sebenarnya; Islam dalam bentuk ajaran yang dibawa Muhammad, Saw.

2.The Jakarta Post bukan media murahan, kan? Idealnya untuk media sebesar The Jakarta Post setiap berita yang diterbitkan sudah melalui kajian, penelitian dan pertimbangan matang. Oleh karena itu, tidak bisa diterima alasan yang mengatakan bahwa ‘tidak menyangka akan menyakiti umat Islam, karena yang dituju adalah ISIS’.

Lafad “لا إله إلا الله “ bukanlah symbol dan milik salah satu organisasi apapun di dunia. Bukan milik negara Saudi Arabia, bukan milik Palestine, bukan milik Iran, dan tentu bukanlah kepunyaan ISIS. Kemudian ada negara dan organisasi yang menggunakan lafadh “لا إله إلا الله “ itu tidak berarti lafadh itu milik mereka. Apalagi saat ada negara atau organisasi yang menggunakan simbol Islam untuk kepentingan kelompokn, ya, maka yang dikritik bukan Islamnya tapi organisasi atau negaranya.

3.Seharusnya The Jakarta Post mendapatkan sangsi atas kecerobohannya, apalagi kalau disengaja –mempunyai hidden agenda. Sangsi secara perdata dan pidana. Dewan pers harus menindak tegas fitnah yang disebarkan oleh The Jakarta Post. Pemerintah harus mengusut kasus ini, karena karikatur tersebut mengandung unsur penghinaan terhadap agama; Islam.

Kalau tidak ada sangsi baik perdata maupun pidana berarti siapapun di Indonesia adalah bebas melakukan fitnah terhadap agama lain. Kalau begini adanya, maka kita tinggal menunggu hancurnya negara Indonesia.

4.Hubungannya dengan sikap berbangsa dan bernegara, sangat jelas tindakan yang dilakukan oleh The Jakarta Post adalah tindakan memecah belah persatuan bangsa yang dibangun puluhan tahun dengan keringat dan darah oleh para pendiri negara ini. Oleh karena itu, The Jakarta Post harus mendapat sangsi atas tindakan provokatifnya. Kalau hukum negara ‘mandul’ untuk mengantisapasi agenda penghacuran bangsa dari The Jakarta Post, maka saatnya bangsa Indonesia mencari dan membuat hukum baru yang bisa berlaku adil terhadap semua kelompok.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline