Lihat ke Halaman Asli

Kemdikbud Overacting dalam Kasus PR Matematika Nilai 20

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14115273221024137151

Penulis adalah seorang guru amatir. Tolong di catat; amatir. Belum profesional secara arti sebenarnya dan belum profesional dalam sudut pandang sistem pendidikan Indonesia (dengan bukti selembar kertas).

Pendidikan: Bukan Hanya Tentang Hasil

Awalnya penulis tidak ingin ikut-ikutan dalam hangatnya PR matematika yang nilainya 20. Namun setelah ada seorang pejabat di kemdikbud yang dengan lantangnya menyuarakan untuk menegur sang guru, penulis tergerak untuk terjun di arena ‘PR matematika’ ini.

Istilah menegur adalah sebuah tindakan untuk mengoreksi bahkan menyalahkan orang lain. Terlebih yang melakukanya adalah atasan. Sebagai seorang murid yang mempunyai banyak guru, sepertinya penulis harus meluruskan sikap pejabat Kemdikbud tersebut.


  1. Apakah beliau tahu proses di lapangan yang terjadi?
  2. Apakah beliau tahu perbuatan-perbuatan apa yang termasuk pelanggaran?
  3. Apakah menurut beliau sebuah konsep pendidikan, konsep pengajaran, dan didaktik metodik yang tidak sesuai dengan konsep Kemdikbud adalah sebuah pelanggaran?

Yang dilakukan oleh sang guru bukanlah perbuatan melawan hukum; menyiksa siswa, melakukan pungutan liar dan semacamnya. Penulispun tidak melihat bahwa langkah yang dilakukan sang guru adalah pelanggaran administrative; bolos kerja, tidak melengkapi administrasi pengajarannya dan yang lainnya. Sang guru ingin memberikan koreksi terhadap langkah kerja siswa tentang pemahaman anak tentang sebuah konsep. Sang guru bukan menilai hasilnya. Kalau hanya menilai hasilnya banyak jalan menuju roma.

Penulis kasih contoh, penulis pernah memberi nilai 0 hasil kerja anak padahal hasilnya benar semua. Sang anak tentu protes, seperti halnya Erfas dan mungkin penulispun langsung kena tegur oleh Kemdikbud. Penulis jawab kepada anak penulis ‘bapak sudah ingatkan, bapak tidak butuh nilai kalian, bapak hanya ingin kejujuran kalian dan pemahaman kalian. Buat apa nilai 100, tapi kalian tidak mengerti’.

Siapapun gurunya, tentu harus mengenal kelebihan dan kekurangan masing-masing anak. Jadi saat itu, penulis tahu sang anak (tiga orang) belum mampu untuk level tersebut, tapi hasil jawabannya benar semua. Yang kedua, penulis merasa aneh kenapa sang anak inginnya PR terus. Tidak mau mengerjakan di sekolah. Fantastic, PR yang ia kerjakan selalu benar semua. Faktanya, konsep dasar sebelumnya saja mereka belum faham. Tentu ini menjadi catatan bagi penulis ‘ada sesuatu’. Di saat yang bersamaan, anak-anak lain yang sudah memahami hanya beberapa gelintir yang benar semua.

Untuk merespon protes anak, penulis memberikan solusi. Saya katakan kepada beberapa anak tadi. Tolong jawab ‘siapa yang mengerjakan ini?’ dan tahu apa jawaban mereka? Mereka menjawab bahwa merekalah yang mengisi tanpa ada bantuan siapapaun. Bahkan salah seorang dari mereka menambahkan kata-kata ‘bapak jangan memfitnah, itu dosa’.

Penulis katakan ‘oke kalau begitu. Tolong kerjakan tugas ini, kalau kalian bisa mengerjakan soal ini maka bapak yang salah. Kalau kalian tidak bisa, kalian harus jujur!’ Sambil penulis memberikan soal-soal yang setara tentunya. Semua anak harus mengerjakan, tanpa terkecuali. Hasilnya, anak-anak lain (selain ketiga anak tadi) walau tidak benar semua mereka bisa mengerjakannya. Dan 3 anak tadi, sama sekali tidak bisa mengerjakan. Adapun mengerjakan salah semua dengan asal-asalan. Saat itu, ketiga anak tetap dalam pendiriannya; bahwa tugas yang mereka kerjakan dengan benar semua adalah hasil kerja mereka. Tanpa bantuan siapapun. Tanpa melihat kunci jawaban. Tanpa ada kecurangan apapun yang mereka buat.

Satu minggu kemudian baru ketahuan. Bahwa mereka mempunyai kunci jawaban dan sering dikerjakan oleh temannya di Sekolah Kebangsaan (tingkat SMP untuk di Indonesia). Penulis sampaikan bahwa mereka boleh belajar dan bertanya kepada siapapun, tapi jangan meminta orang di isikan.

Sikap yang penulis lakukan bukan ingin mencari hasil dari anak. Penulis menginginkan bahwa anak mengerti. Penulis ingin sang anak belajar dan berusaha. Penulis ingin sang anak berani jujur. Apakah perbuatan seperti ini harus mendapat teguran dan sangsi?

Kita sekarang menuju kepada sang guru yang memberikan nilai 20 tadi. Hemat penulis, sang guru bukan tidak tahu bahwa hasil dari 4x6 sama dengan 6x4. Namun target sang guru pada waktu bukan itu (bukan hasil). Targetnya adalah sang anak memahami bahwa ketika ada ‘tas + tas + tas + tas + tas’ maksudnya 5 kali tas. Dituliskan dalam bahasa matematika 5 x tas.

Contoh lagi ketika ada ‘2 tas + 2 tas + 2 tas + 2 tas +2 tas’ maksudnya 2 tas-nya ada lima kali. Dituliskan dalam bahasa simbol 5 x 2 tas. Sang guru saat memberikan penilaian, ingin mengukur sejauh mana pemahaman anak. Nilai 20 adalah nilai pemahaman anak tentang konsep ini. Eh.. maaf, nilai 20 adalah nilai pemahaan Erfas sang kakak Habibi tentang konsep ini.

Oh iya, biasanya saat guru menjelaskan konsep ini, ia memberikan juga visualisasi baik dalam gambar atau contoh nyata. Kalau pun tidak, dalam bukunya seharusnya ada visualisasi dalam bentuk gambar.

Nah kalau sikap sang guru seperti ini dianggap pelanggaran, maka penulis sampaikan bahwa jangan ada universitas pendidikan dan fakultas pendidikan yang mengajarkan tentang didaktik metodik. Kalau sikap seperti ini disebut pelanggaran, maka penulis sampaikan jangan ada lagi konsep-konsep baru tentang pendidikan. Kalau kemdikbud menyatakan bersalah, maka sama saja kemdikbud mengkebiri ilmu pengetahuan.

Perlu diingat, penulis tidak mendengar berita bahwa sang guru tidak lantas memarahi sang anak ketika mendapatkan nilai 20. Sang guru pun tidak juga memaki dan mempermalukan anak. Nah kalau hal ini dilakukan, maka penulis sepakat bahwa sang guru perlu ditegur.

A + Untuk Semua Hasil Kerja

Karena penulis ngajar borongan, penulis pun mengajar tingkat TK. Saat penulis memberikan nilai terhadap tugas anak, hampir semua anak mendapatkan nilai A+. Penulis pernah berdiskusi dengan partner penulis, bahwa sikap penulis itu tidak adil.

Penulis sampaikan ‘bagi hasil kerja anak yang bagus adalah A+, bagi mereka yang ‘overacting’ (tidak mau belajar, maunya menggangu temannya yang lain, senangnya jalan-jalan) namun ternyata mau mengikuti arahan guru adalah A+ walaupun jelek hasilnya.’ A+ dari penulis adalah motivasi untuk mereka untuk terus mau belajar.


  1. Apakah inovasi dalam proses pembelajaran adalah sebuah pelanggaran?
  2. Kemudian konsep pendidikan mana tidak melanggar aturan kemdikbud?
  3. Konsep pendidikan mana saja yang melanggar aturan kemdikbud?

Pendidikan Anak Bukan Hanya Milik Guru

Kalau memang erfas sebagai orang tua. Seharusnya, ia datang ke sekolah adiknya. Sampaikan kritik atau pendapat dia terhadap sang guru. Kewajiban mendidik bukan hanya berada pada guru; orang tua dan keluargalah yang mempunyai kewajiban inti mendidik. Seharusnya orang tua dan guru bisa bekerjasama untuk pendidikan anak-anaknya. Jangan sampai orang tua, datang ke sekolah saat anak bermasalah sambil marah-marah. Apalagi pejabat di kementrian yang seharusnya menjadi bagian dari system pendidikan nasional.

Apakah sang pejabat Kemdikbud tahu bahwa orang tua sang anak sudah (belum) melakukan kerjasama dengan sang guru? kalau sudah, bagaimana respon sang guru?

Jabatan tinggi di kementerian bukan untuk menunjukan kekuasaan. Bukan untuk memperlihatkan kemampuan menegur dan memberikan sangsi. Ingat sistem pendidikan bukan sistem perburuhan.

Sumber:

http://www.merdeka.com/peristiwa/kemendikbud-minta-disdik-tegur-guru-salahkan-pr-matematika-siswa.html

Padlilsyah: guru amatir yang mengajar anak-anak TKI di Sabah, Malaysia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline