Lihat ke Halaman Asli

Kurikulum 2013: Fakta di Lapangan

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14195149631601290637

Mungkin tulisan ini sedikit terlambat. Namun begitu, semoga tulisan ini menambah fakta-fakta tentang penyelenggaraan kurikulum 2013 (Kurtilas). Saya tidak membahas tentang kurtilas secara umum, seperti konsep tematik untuk meningkatkan akhlak siswa dan konsep penilaian yang katanya lebih objektif. Saya tidak bahas karena masuk term opini.

Beberapa hal yang saya soroti dan sangat kasat mata tentang ketidakberesan yang ada;

1. Pengadaan Buku

SD tempat saya belajar dulu, termasuk sekolah yang sudah memulai menggunakan kurtilas. Dari para guru didapatkan informasi bahwa walaupun sudah menggunakan kurtilas tapi mereka tidak bisa leluasa mengajarkannya. Alasannya adalah bahwa buku yang telah dibeli dari dana BOS tidak kunjung datang. Biasanya datang saat akhir semester atau akhir tahun ajaran. Dan untuk menutupi kelemahan itu, para guru di intruksikan untuk mengunduh buku-bukunya dan memotocopinya.

Hal ini tentu akan memberatkan sekali untuk para guru di SD tersebut. Sekolah yang berada di sebuah kampung, jalannya hancur, dan sulit dari akses transportasi dan komunikasi. Kalau ingin menggandakan satu lembar maka seseorang harus rela mengeluarkan ongkos sekitar 30.000 pulang pergi.

Dan tahukah? Kondisi yang terjadi di SD tersebut banyak di alami di sekolah-sekolah di kabupaten Sukabumi. Bahkan termasuk di seluruh wilayah Indonesia. Bayangkan saja, Sukabumi yang dekat pusat pemerintahan saja sudah kesulitan, apalagi sekolah-sekolah yang berada di pelosok.

Dengan keterlambatan buku-buku dan guru diwajibkan untuk menggandakan dulu, berarti ada dobel pendanaan; dana beli buku dan dana menggandakan.

2. Penulisan buku

Ada beberapa prinsip dalam kurtilas; 1. Seorang guru hanya memberikan pemicu agar memunculkan rasa keingin tahuan anak-anak dalam belajar, biarkan anak mencarikan pemahamannya sendiri, dan tidak boleh memberikan bimbingan, termasuk memberikan penjelasan dan arahan-arahan lain. Bimbingan hanya di akhir bersifat pelurusan. 2. Seorang pemateri kurtilas saat saya mengikuti pelatihan mengatakan, “Dalam kurtilas, kelas 1 SD adalah masa untuk belajar membaca dan menulis. Justru salah besar pendidikan yang mengajarkan membaca dan menulis di jenjang Taman Kanak-kanak (TK)”.

Saya tidak tahu siapa yang menulis buku kurtilas untuk kelas 1 SD. Apakah penulis atau tim nya sadar bahwa buku yang mereka tulis adalah untuk anak-anak SD yang belum bisa menulis dan membaca?

Anda boleh lihat gambar!

[caption id="attachment_385988" align="aligncenter" width="300" caption="lembar kerja siswa kelas 1 SD"][/caption]

Ada dua hal yang saya kritisi;

1.Katanya dalam kurtilas, kelas 1 SD itu belajar membaca dan menulis, apakah anak yang belum bisa membaca bisa mengerti arahan-arahan yang banyak seperti itu? Kemudian kapan dia belajar membacanya?

2.Apakah benar kalimat intruksi menggunakan tanda baca ‘titik’.

Saya melihat bahwa penulis (tim) tampak tidak memahami konsep dasar kurtilas ini. Selain itu seolah penulisan buku tidak diserahkan kepada ahlinya. Atau karena ini sekedar proyek?

Sebagai pembanding, untuk lembar buku siswa tadi saya apload juga lembar pegangan gurunya.

[caption id="attachment_385982" align="aligncenter" width="300" caption="lembar kertas pegangan guru"]

14195135901530851865

[/caption]

[caption id="attachment_385984" align="aligncenter" width="300" caption="lembar kertas pegangan guru"]

141951369371762531

[/caption]

3.  Kelas 3 dan 6 belum kurtilas

Mencari alasan selogis-logisnyapun tetap tidak akan masuk akal. Belum siapnya kurtilas bagi kelas 3 dan 6 bukti bahwa perencanaan dan penyelenggaraan kurtilas belum matang.

Lantas bagaimana dengan pernyataan mantan mendikbud, Muhammad Nuh, bahwa banyaknya sekolah yang telah menggunakan kurtilas adalah bukti bahwa kurikulum itu diterima dan matang.

Faktanya bukan masalah menerima atau tidak, bukan masalah matang atau tidak, bahkan seandainya pemerintah memerintahkan sekolah-sekolah menggunakan sembarang kurikulum, maka sekolah-sekolah akan menuruti saja. Kenapa? Karena mau tidak mau, semua sekolah harus mengikuti aturan dari pemerintah, tidak peduli bagaimana keadaannya. Kalau tidak, tunggu tanggal mainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline