Lihat ke Halaman Asli

Pesantren, Berkorban dan Dikorbankan

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Banyak lembaga pendidikan yang diklaim sebagai lembaga pendidikan terbaik. Salah satu caranya mencitrakan dengan nama; plus, terpadu, full day, favorit, boarding bahkan international. Umumnya semua lembaga pendidikan itu berlomba untuk menyeleksi para pelajarnya dengan angka-angka. Tujuannya agar lembaga-lembaga pendidikan mereka di huni oleh pelajar-pelajar pintar dan baik.

Setiap akhir tahun ajaran, para pengajar dan pemiliknya sambil membusungkan dada berkata, "lihatlah lulusan-lulusan sekolah kami!". Atau mereka dengan angkuh membayar redaktur surat kabar dan majalah agar bisa menuliskan deretan prestasi-prestasi yang dicapai para pelajarnya.

Anak-anak yang tidak mempunyai nilai yang tinggi tidak bisa belajar di sekolah mereka. Anak-anak yang mempunyai masalah dengan sikap tidak layak duduk di bangku sekolah mereka. Terus menurut mereka, layaknya anak-anak tersebut belajar dimana? Atau apakah mereka itu tidak layak belajar?

Menurut hemat saya, "kehebatan" sekolah-sekolah tersebut perlu dikaji ulang. Apakah benar prestasi-prestasi pelajarnya karena para pengajar dan sistem sekolahnya? Apakah mereka mampu menjadikan para pelajarnya berprestasi kalau para pelajarnya tidak pintar? Ini baru sebatas aspek kognisi, belum pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan afeksi dan psikomotorik. Misal, apakah mereka mampu mendidik anak-anak yang nakal menjadi anak-anak yang baik?

Pesantren Berkorban dan Dikorbankan

Salah satu lembaga pendidikan asli Indonesia (Indogenius) adalah pesantren, sebagaimana yang dikatakan Nurkholis Madjid dalam 'Bilik-Bilik Pesantrennya'. Diakui ataupun tidak, suka ataupun tidak, kebaradaan pesantren sudah dan sangat mempengaruhi wajah pendidikan Indonesia.

Sudah sejak lama, pesantren dipersepsikan sebagai lembaga yang terbelakang, kumuh, tempat buangan anak-anak bandel, tempat pelarian anak-anak bodoh yang tidak diterima di sekolah hebat dan PROFESIONAL.

Benar, bahwa pesantren mempunyai kekurangan dan kelemahan yang harus diperbaiki agar bisa bersaing dengan sekolah-sekolah berduit. Namun masyarakat -walau tidak banyak- juga bertanggung jawab atas kelemahan dan citra buruk itu. Saya berikan contoh, Ada seseorang ibu berkata kepada kawannya, "Anak saya kedua bandel banget, paling saya masukan ke pesantren saja". Ada lagi seorang bapak bilang sama anaknya, "Kamu ikut saja test dulu di sekolah favorit A, B, C dan D, nanti kalau memang semuanya gak lulus kamu masuk saja pesantren".

Betapa jahatnya orang-orang yang bersikap demikian. Kalau memang mereka tahu anaknya bandel dan bodoh, kenapa tidak mereka didik dan ajar sendiri. Kemudian kalau mereka memang tidak mampu dan mempercayakan ke pesantren, maka seharusnya pesantren adalah pilihan utama untuk anak-anak mereka.

Pintu pesantren memang selalu terbuka untuk siapapun yang mau belajar; yang baik, yang bandel, yang pinter dan yang bodoh. Pesantren memegang prinsip bahwa pendidikan adalah sebuah proses (usaha) untuk menjadikan anak didik lebih baik; dari tidak tahu menjadi tahu, dari tahu menjadi faham, dari faham menjadi akhlak. Pendidikan bukan hanya untuk yang sudah bisa dan baik.

Hal ini yang kadang bagi masyarakat -yang tidak bisa berpikir- memandang bahwa pesantren adalah tempat anak-anak bodoh dan bandel. Mereka tidak melihat bagaimana pesantren berusaha dan berkorban untuk mendidik anak-anak tersebut menjadi lebih tahu dan lebih baik. Dan faktanya sangat banyak output pesantren yang menjadi lebih baik dari saat mereka (belum) masuk pesantren. Bahkan memberikan kontribusi positiv untuk lingkungan, negara bahkan dunia.

Sekarang kalau bicara lulusan. Kita tidak bisa hanya membandingkan hasil outputnya saja. Seharusnya kita lihat juga bagaimana inputnya. Dari sana, kita akan tahu adakah perubahan yang lebih baik atau tidak. Adanya perubahan ke arah yang lebih baik adalah wujud sebuah pendidikan berjalan. Dan kita baru bisa katakan lembaga itu hebat.

Agar mudah, saya menggunakan perbandingan angka. Salah kaprah mengklaim sekolah A lebih baik atau terbaik karena telah menjadikan anak didik yang nilai awalnya 7 menjadi 8, sedangkan disaat bersamaan sekolah lain menjadikan anak yang nilai awalnya 5 menjadi 6.

Selain masyarakat, pemerintah pun bertanggung jawab atas keberadaan pesantren. Sampai saat ini, hanya sekolah-sekolah yang mendapatkan bantuan dana dari dari pemerintah, baik itu dana BOS, BSM, dana untuk insentif untuk gurunya. Tidak untuk pesantren. Seharusnya pemerintah memperhatikan pesantren layaknya lembaga-lembaga pendidikan lain di Indonesia. Jangan hanya perduli terhadap pesantren saat kompanye waktu pileg dan pilpres saja.

Ketika Pesantren Menjawab Tantangan


Kritik yang dilontarkan oleh Cak Nur diantaranya adalah tentang fasilitas dan kurikulum di pesantren. Saya tidak tahu apakah terinspirasi dari ‘bilik-bilik pesantren’ atau bukan. Faktanya, hari ini sudah banyak pesantren yang melakukan inovasi dalam dua hal ini. Saat ini, pesantren adalah tempat yang bersih dan rapih. Bahkan para pelajarnya belajar dan membiasakan diri untuk menata dan membersihkan. Dari sisi kurikulum, banyak pesantren yang telah menyusun kurikulumnya dengan jelas dan matang,baik yang melakukan terobosan dengan sendirinya, maupun bekerjasama dengan kemenag dan kemdikbud. Tentunya bukan sekedar pengetahuan keislaman saja, bahkan pengetahuan umum pun diperdalam.

Hanya satu Untuk membuktikannya, anda bisa berkunjung ke salah satu yang ada di Cianjur-Jawa Barat “Tanwiriyyah” tempat saya belajar. Atau pesantren “Dar El-Qolam” di Gintung-Banten tempat istrinya belajar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline