REKONTRUKSI RESTORATIF JUSTICE DENGAN SISTEM PEMIDANAAN INDONESIA MENURUT UU NO. 1 TAHUN 2023"
Oleh:
Padlah Riyadi., MM., MH
PENDAHULUAN
Hakikatnya sebuah aturan hukum dibuat untuk memberikan perlindungan dan memberikan rasa keadilan bagi seluruh masyarakat luas. Hal tersebut dijelaskan dalam UUD 1945, maka dari itu negara Indonesia dituntut mampu menyelesaikan suatu permasalahan hukum yang terjadi, sehingga dapat menciptakan rasa keadillan dan keamanan bagi masyarakat. Dalam sistem hukum pidana jika terjadi suatu tindak pidana yang merugikan kepentingan orang lain, akibat hukumnya terhadap pelaku tidak hanya akan menjadi hak dari korban tindak pidana tersebut, namun akan meluas menjadi k epentingan dari keluarga, masyarakat dan juga negara. Peristiwa hukum yang terjadi di Indonesia saat ini berkembang pesat, mulai dari jenis tindak pidana yang dilakukan dan juga pelaku tindak pidana yang tidak terbatas dari segi usia maupun golongan saja. Salah satu dari pembagian hukum yang digunakan sebagai dasar untuk menegakkan keadilan di Indonesia ialah hukum pidana.
Restorative Justice pada fungsinya memberikan suatu pendekatan yang berbeda dalam proses memahami dan menangani suatu tindak pidana, yang dalam Restorative Justice memberikan pengartian yang sama akan suatu tindak pidana, namun dalam proses penyelesaiannya menghadirkan suatu proses yang berbeda dengan yang diatur dalam mekanisme melalui pengadilan dengan melibatkan para pihak langsung. Dalam hal ini bertujuan untuk memberikan solusi penyelesaian perkara pidana yang lebih cepat dan hemat, dan menjunjung rasa keadilan bagi kedua pihak serta upaya menghindarkan stigma negatif bagi para pihak. Konsep keadilan restoratif merupakan cara lain dalam peradilan pidana yang Digunakan untuk menyelesaikan suatu perkara pidana. keadilan restoratif lebih mengutamakan integrasi pelaku dan korban atau masyarakat sebagai satu kesatuan untuk dapat mencari solusi serta mengembalikan kepada hubungan yang baik antara pelaku dan korban.
Restorative Justice hadir untuk merekonstruksi gagasan hukum pidana modern yang menekankan keseimbangan antara pelaku, korban, serta kepentingan masyarakat. Restorative justice berpijak pada dimensi dan nalar hukum substantif supaya dapat menghadirkan dimensi Pasca disahkannya UU KUHP di awal tahun 2023, optimisme mengenai hukum pidana yang bercita hukum Pancasila kian menggeliat karena substansi dalam UU KUHP telah disesuaikan dengan kultur hukum bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, konsepsi Restorative Justice juga telah dirumuskan dalam UU KUHP sebagaimana yang dijelaskan dalam berbagai pasal di dalam UU KUHP. Seperti Pasal 54 UU KUHP menjelaskan bahwa dalam pemidanaan wajib mempertimbangkan pemaafan dari korban dan atau keluarga korban, kemudian Pasal 132 kewenangan penuntutan dinyatakan gugur jika telah ada penyelesaian diluar proses peradilan
Gagasan Restorative Justice dalam UU KUHP selain upaya untuk membangun cita hukum keindonesiaan juga berupaya menghadirkan koreksi atas sistem peradilan pidana yang menekankan pada pemidanaan pelaku, bukan pada pemulihan korban. Penekanan pada pemidanaan pelaku hanya cenderung menyederhanakan persoalan pidana karena persoalan pidana tidak hanya selesai ketika pelaku telah dipenjara. Penyelesaian persoalan pidana harus kompleks yang mana terdapat titik temu antara kepentingan hukum masyarakat, korban, serta pelaku tindak pidana. Berdasarkan penjelaskan tersebut, penulis menarik kesimpulan bahwa konsep Restorative Justice belum dijelaskan secara implisit dalam KUHP yang lama, melainkan dijelaskan didalam peraturan-peraturan diluar KUHP, sedangkan dalam KUHP baru (UU KUHP) telah dijelaskan secara implisit. Implikasi Restorative Justice pasca disahkannya RKUHP menjadi UU KUHP dalam perspektif hukum sejatinya telah terfasilitasi dalam UU KUHP dan tersebar di berbagai pasal.
Saat ini, Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan merupakan lembaga yang menjadi tumpuan untuk mengembangkan metode dalam menyelesaikan perkara tindak pidana itu. Dalam sistem peradilan saat ini, dikenal dua metode penyelesaian hukum yaitu melalui jalur litigasi dan juga non litigasi. Pada umumnya, dalam langkah menyelesaikan suatu perkara pidana saat ini lebih sering menggunakan jalur litigasi atau mekanisme melalui peradilan. Dalam penerapannya langkah tersebut seringkali tidak sesuai dengan harapan dan malah menimbulkan suatu permasalahan baru, seperti pola pemidanaan yang bersifat pembalasan (revenge) sehingga berpotensi dapat menimbulkan rasa ketidakadilan, penumpukan perkara dan juga sering tidak memerhatikan hak-hak hukum dari korban tindak pidana.
Di samping itu, proses penyelesaian perkara melalui jalur litigasi memiliki berbagai kekurangan seperti proses penyelesaian yang panjang yang tentunya memakan waktu, tenaga dan juga biaya. Penyelesaian yang cenderung bersifat kaku, tidak memulihkan dampak kejahatan, tidak mencerminkan rasa keadilan terhadap masyarakat, kondisi lembaga permasyarakatan yang tidak memadai dan lain sebagainya. Hukum dibuat yang tujuannya untuk melindungi kepentingan orang perseorangan atau hak asasi manusia dan melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat dan negara dengan perimbangan yang serasi,agar peran hukum tersebut sesuai dengan apa yang diatur dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang menyatakan:
"melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial[1]."