PENDAHULUAN
Sejak tahun 1970-an, tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) telah menjadi topik penting di kalangan profesional, peneliti, aktivis LSM, dan masyarakat. Nilai suatu perusahaan (value of a company) yang tercermin hanya pada kondisi keuangannya harus dilandasi oleh rangkap tiga kesadaran dan keberanian untuk menuntut hak atas keadilan sosial, lingkungan hidup dan hak asasi manusia (HAM) serta perlindungan hukum dan transparansi serta keterbukaan. well informed) informasi mengenai dunia usaha khususnya di bidang pertambangan.
Secara politis, tuntutan masyarakat sangat masuk akal karena hanya sekelompok kecil atau kelompok tertentu yang menikmati kekayaan sumber daya alam milik bangsa Indonesia, dan hal ini menimbulkan berbagai kerusakan dan dampak lingkungan. Maka Carolyn Marr menyampaikannya dengan kata-kata yang paradoks yaitu "Indonesia sangat kaya dan Indonesia sangat miskin". Dalam hal ini Pasal 33, 3, dan 4 UUD 1945 menegaskan bahwa sumber daya alam yang ada harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan yang berprinsip sebagai landasan filosofis pengelolaan sumber daya alam. demokrasi ekonomi.
Sebenarnya persoalan tersebut tidak terlepas dari paradigma[1] dunia usaha, khususnya industri pertambangan yang masih mengedepankan profit oriented, belum lagi mengarah pada corporate image. Hal ini memberikan makna bahwa perusahaan bukan lagi sebagai entitas yang mementingkan diri sendiri (selfish), alienasi dan atau eklusifitas dari lingkungan masyarakat, melainkan sebuah entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosial di mana ia berada dan bertanggung jawab atas segala kerusakan serta dampak lingkungan sebagai akibat aktivitas usaha yang mereka lakukan. Dan pada sisi lain, perusahaan harus menyadari bahwa suatu perusahaan tidak bisa hidup, beroperasi dan bertahan serta memperoleh keuntungan tanpa bantuan dari berbagai pihak.[2] Sehingga perusahaan yang melaksanakan CSR secara konsisten dalam jangka panjang akan menumbuhkan rasa memiliki dari masyarakat (sense of belonggings) terhadap kehadiran perusahaan tersebut.
Sedangkan dari berbagai tulisan, survei, dan penelitian menunjukkan bahwa CSR yang berkembang di kalangan dunia usaha dewasa ini bukanlah murni atas dasar kesadaran perusahaan, tetapi merupakan tuntutan dalam menghadapi arus globalisasi dan tuntutan pasar bebas (free market). Kondisi ini dipertajam lagi dengan terbentuknya ikatan-ikatan ekonomi dunia seperti WTO, AFTA, APEC, UE dan lain-lain yang mencantumkan berbagai persyaratan untuk berkompetisi, seperti ISO 14000 dan 14001 berkaitan dengan manajemen lingkungan serta ISO 26000[3] tentang petunjuk (gaideline) implementasi dan aplikasi CSR. Selain itu, fakta menunjukkan bahwa cepatnya arus dinamika sosial kemasyarakatan menyebabkan semakin berkurangnya peran pemerintah, serta dominannya peran sektor swasta dalam pembangunan suatu negara.[4] Namun sebagian besar perusahaan masih menganut doktrin ekonomi klasik Adam Smith yaitu "maximization profit". Doktrin ini sudah usang, paradigma yang dikembangkan sekarang adalah bagaimana perusahaan dalam aktivitasnya mampu menciptakan "corporate image" yang positif.
Bagi sebagian dari perusahaan besar telah menerapkan CSR sebagai kegiatan yang bersifat voluntary yang diwujudkan dalam bentuk kedermawanan (philanthropy), kemurahan hati (charity) dan lain-lain. Sehingga pada saat wacana CSR mau diatur dalam UUPT timbul berbagai tanggapan, resistensi dan protes dari berbagai kalangan dunia usaha, dengan dalih bahwa kalangan dunia usaha telah menerapkannya dan disinyalir hanya Indonesia satu-satunya negara yang mengatur CSR secara eksplisit dalam ketentuan perundang-undangan.
Agar CSR itu memiliki daya atur, daya ikat dan daya dorong, sehingga CSR yang semula bersifat voluntary perlu ditingkatkan menjadi mandatory (legal responsibility). Pemerintah sebagai regulator telah memasukkan CSR sebagai kewajiban perusahaan dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM), Pasal 74 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Sehingga perusahaan yang bergerak di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam harus mengimplementasikan CSR dalam aktivitas usahanya. Aturan ini telah diejawantahkan sedemikian rupa dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba).