Lihat ke Halaman Asli

Katak Bicara Cinta

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh: Saifuddin Du

Di kamar lima Alhusna, aku hanya duduk termangu bertemankan rasa hampa. Mentari senja mulai menarik diri dari peredarannya. Awan-awan kuning keemasan telah menyeruak memenuhi cakrawala. Sinar-sinar mentari menghangatkan suasana dengan lembutnya, menyulamkan benang-benang cahayanya di celah-celah Jendela Cinta. Debu-Debu Asmara yang menempel di kaca pun turut menyuarakan nyanyian sunyi dalam dada.

“Ah, kenapa semarak senja yang menyapa ini tak sampai menjangkau hatiku juga. Kelam rasanya! Ia harusnya mewangi oleh bunga-bunga dari taman Alhusna, yang setiap hari disiram oleh segarnya air telaga. Oh Dinda, ada apa denganmu pujaan hatiku? Kenapa engkau tak datang juga di hari-hariku yang semakin redup saja? Akankah engkau telah bahagia di sana, di asrama tempat kau cari ilmu serupa intan dan permata?” Suara lamunanku sore itu.

“Mas Sai,” terdengar suara memecah bayang-bayang mimpiku yang membumbung tinggi.

“Mas Sai, dipanggil sama Mbah, ditunggu di depan musholla,” kata adik kelas yang telah berulang kali memanggil-manggilku. Ia pun terus pergi setelah aku mengiakannya. Duh Mbah, ada apa pula denganmu memanggilku yang sedang sepi ini! Adakah kabar bahagia atau nestapa yang akan kau bawa?

Aku pun segera turun menuju musholla Alhusna. Ketika lewati tangga aku rasakan hembusan udara senja menyapa kulitku yang sedang dirudung duka, membuat bulunya menari-nari, memberikan kesejukan layaknya belaian sang kekasih hati. Aku bayangkan Mbah, salah seorang teman sekamarku yang berwajah tua, sedang memberiku kejutan. Namun tiada kuberani angankan kebahagiaan ataukah kepedihan kejutan yang dibawanya itu.

Mbah kelihatan telah menunggu ketika aku sampai di depan musholla. Ia duduk pada batu penghubung musholla dan tempat wudlu, bertemankan sunyinya sendiri, juga burung gereja yang sedang bernyanyi. Begitu memandangku yang telah duduk di sampingnya, ia berkata:

“Sai, ada tugas untukmu.”

“Tugas apa, Mbah?” kataku bertanya.

“Ini permintaan dari si Dinda, pujaan hatimu itu.”

Ah, Mbah! Belum selesai engkau bicara pikiranku sudah melayang kemana-mana. Ucapanmu yang sedikit itu telah membawaku terbang jauh menjelajah angkasa raya dan mengarungi samudra. Seolah engkau sedang menabuhkan genderang di jantungku, terus saja memacunya cepat dan semakin cepat, sehingga hilang sadarku. Ada apa gerangan dengan diriku ini? Akankah ini yang disebut cinta ketika ia sedang menyala-nyala? Ataukah mungkin ini rindu yang sedang menggebu? Aku tak tahu. Permintaan si Dinda macam apa pula yang kau bawa padaku, Mbah? Sudah tak sabar lagi rasanya diriku ingin tahu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline