Oleh: Saifuddin Du
Aku menjadi teringat beberapa saat sebelum ia datang, seorang kakek yang menceritakannya padaku. Aku sendiri kadang merasa menyesal juga, jika mengingat saat-saat itu. Karena usiaku yang masih anak-anak, aku enggan memenuhi permintaan kakek. Ucapan itu kini kembali terngiang di kepalaku, mengingatkanku pada sosoknya, keteladanannya, juga nasihat-nasihatnya.
Waktu itu mentari senja benar-benar menampakkan pesonanya. Kegagahannya terpampang dari cerahnya hamparan awan di cakrawala. Semakin lama ia semakin merundukkan cahaya, seolah sang ufuk secara perlahan menarik peredarannya. Di akhir sebelum ia tenggelam, ia sempatkan menyulam berkas-berkas sinar keemasan di celah-celah pohon mangga, tepat di bawahnya dua insan kakek dan cucunya dengan hangat sedang bercengkerama.
“Nanti malam maukah kamu datang kesini, Dhin?” Tanya kakek kepadaku dengan nada suaranya yang dalam dan berat.
“Untuk apa, Kek?” jawabku.
Kakek terdiam cukup lama. Keriput di wajahnya tampak begitu jelas, terutama di bagian dahinya. Sementara tangannya dengan cekatan menyusun anyaman bambu di depannya. Namun demikian tangan itu kelihatan gemetar, dapat kupastikan ini disebabkan oleh usianya yang sangat senja. Kakek memang telah sembilan puluh tahun merasakan manis pahitnya kehidupan dunia. Yang membuat aku kagum padanya, di usianya yang begitu senja kakek sama sekali tidak pikun dan dapat mendengar dengan jelas. Meski pelan-pelan ia masih bisa baca-tulis huruf jawa. Ia pun masih dapat menghasilkan uang dengan menganyam bambu.
Terkait pekerjaan kakek yang satu ini, emak dan bapak telah berkali-kali melarangnya. Tapi kakek terus saja bersi keras, padahal ia telah berulang kali terjatuh karena badannya yang ringkih tak kuat mengangkat anyaman bambu sendirian. Kakek bilang menganyam bambu adalah satu-satunya pekerjaan yang masih bisa ia kerjakan, dan ia menikmati itu. Ia pernah menasehatiku, bahwa kemulyaan, kenikmatan dan ketentraman itu untuk diri sendiri dan hanya akan ditemui pada diri sendiri. Maka berlatihlah, untuk tidak pernah bergantung pada orang lain atau sesuatu pun di dunia ini.
“Aku ingin menunjukkan kepadamu, Dhin. Setiap malam banyak sekali orang datang padaku, semua berpakaian putih-putih,” jawab kakek kemudian.
“Orang berpakaian putih-putih. Siapa, Kek?” tanyaku. Usia yang baru tujuh tahun enam bulan membuatku tidak mengerti arah pembicaraan kakek.
“Aku tidak tau, mereka terus-terusan datang dan memanggil-manggilku. Kamu mau nanti malam menemaniku?” kata kakek sambil tersenyum.
“Aku tidak bisa, Kek. Emak pasti akan melarangku. Selama ini emak selalu melarangku tidur di rumah siapapun. Kakek takut?”