Lihat ke Halaman Asli

Darah di Wilwatikta Eps. 44: Garuda Nglayang di Lapangan Bubat

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1326684345877143485

[caption id="attachment_163987" align="aligncenter" width="500" caption="Garuda Melayang (foto: clairekennedydesign.typepad.com)"][/caption]

NYARIS serempak, Pendekar Misterius, Wolu Likur dan Gegurit Wungu berdiri. Mereka sudah tahu kalau Pendekar Padi Emas akan muncul.

"Mari silakan," kata Wolu Likur. "Eh ada yang tidak beres?" Wolu Likur bertanya heran melihat raut wajah Padi Emas.

"Eh, iya. Sebenarnya... aku..." Padi Emas berkata setengah gagap. "Katakan saja, saudaraku. Kita orang sendiri," kata Pendekar Misterius.

"Emm... Sebenarnya ini bukan tentang aku. Tapi seseorang yang nyawanya terancam," ujar Padi Emas. Dia melongok sejenak ke luar dan menggapai. Beberapa saat kemudian seorang lelaki yang wajahnya letih muncul. Lelaki itu pucat. Lengan dan kakinya berdarah, juga pundak. Lukanya sudah dibebat seadanya.

"Kenalkan, ini Kayan, prajurit Sunda Galuh," Padi Emas berujar sambil mengerahkan ilmu mengirimkan suara. Kata-katanya hanya bisa didengar oleh ketiga pendekar di depannya.  "Mungkin Kayan satu-satunya prajurit Sunda Galuh yang lolos dari pembantaian di Lapangan Bubat..."

"Ahhhh..." Pendekar Misterius berseru kaget, seperti disengat ular berbisa. Begitu juga Wolu Likur dan Gegurit Wungu. Tentu saja mereka mendengar kabar kedatangan rombongan penganten dari Sunda Galuh, putri mahkota Sunda galuh yang kabarnya bakal disunting Yang Mulia Baginda Raja Majapahit. Namun ketiganya tidak begitu tertarik soal jodoh, karena perhatian mereka dicurahkan untuk mencari Kiran.

"Apa yang terjadi?" bisik Gegurit Wungu sambil menatap sekeliling. Sesuatu yang tidak perlu sebenarnya karena di bilik itu hanya ada mereka.

Pendekar Padi Emas menarik nafas panjang. Wajahnya keruh. "Pembantaian. Nyawa melayang hanya karena keinginan menguasai wilayah. Dan jodoh serta perkawinan dijadikan sebagai alat..."

"Duduk dulu, Padi Emas. Ceritamu pasti panjang," kata Wolu Likur.

Padi Emas mengangguk, dan duduk di sebuah bangku kecil. Dia mempersilakan Kayan duduk di dekatnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline