Lihat ke Halaman Asli

Darah di Wilwatikta Eps 25: Malam yang Mengubah Hidup

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

SENJA menangis. Hujan rintik menetes, seperti ikut merasa gundah. Sang Mentari pun seakan tak sabar untuk turun ke peraduan. Keenam orang itu duduk di lantai batu, di pondok sederhana dari bambu. Tiga Dara menghidangkan masakan. Nasi putih yang mengepul diletakkan di daun pisang. Dilengkapi daging ayam hutan yang dibakar, dan sayur kangkung liar yang direbus. Mereka menyantap makanan dengan nyaris tanpa suara. “Sekarang ceritakan, bagaimana orang kelima di Bhayangkara Biru bisa terluka parah. Bagaimana kalian berdua bisa bertemu…” Putri Harum Hutan memecah kesunyian. Dhanapati menghentikan gerakan jemari berisi nasi yang tadinya akan dimasukkan ke mulut. “Bagaimana putri tahu kalau aku orang kelima di Bhayangkara Biru?” Pembagian di Bhayangkara Biru hanya diketahui segelintir orang. Di Bhayangkara Biru, selain Bhagawan Buriswara yang menjadi ketua, ada tujuh anggota. Dan masing-masing disapa anggota pertama, kedua dan seterusnya. Bhagawan Buriswara yang menentukan siapa yang dipanggil apa. Tapi Dhanapati tahu persis, di Trowulan, yang tahu bahwa dirinya adalah anggota kelima hanya segelintir orang. Jumlahnya tak sampai sepuluh orang. Bagaimana Putri Harum Hutan bisa tahu? Putri Harum Hutan tersenyum, dan diam-diam Dhanapati mengakui, betapa cantiknya gadis ini jika dia tersenyum. Namun senyum itu hanya sekejap, dan dalam seketika wajah cantik itu kembali dingin membeku. “Kau jangan lupa, kendati tidak secara langsung, namun aku masih tergolong kerabat kerajaan Wilwatikta. Aku bisa bertemu Sang Baginda, atau bibi Tribhuwanna kapan saja aku mau. Aku juga bisa menemui Mahapatih secara langsung. Aku tentu saja tahu Bhayangkara Biru. Aku mengenal satu per satu anggotanya. Apakah kau tahu kalau diam-diam yang Mulia Baginda sebenarnya tidak setuju dengan keberadaan Bhayangkara Biru?” Dhanapati mengangguk. Perlahan. Dulu, semasa masih aktif, Dhanapati dan rekan-rekannya dapat merasakan hal itu. Bahwa banyak pihak di keraton yang tidak menyukai mereka. Bukan membenci pribadi, tapi institusi. Banyak pihak yang sebenarnya tidak setuju dengan keberadaan Bhayangkara Biru, yang dianggap merusak tatanan hukum dan keadilan. Yang jelas-jelas memperlihatkan ketidaksukaan adalah Dharmadhyaksa (Hakim Tinggi) kerajaan, Sang Arya Harsaraja dan Simeswara Nadendra. Tapi ketidaksukaan pada Bhayangkara Biru tidak diungkap secara terbuka. Bhayangkara Biru dibentuk oleh Yang Mulia Mahapatih, dan diberi mandat khusus. Pihak yang menyatakan permusuhan dengan Bhayangkara Biru akan berhadapan dengan Mahapatih. Dan saat itu, tak seorang pun, bahkan termasuk Baginda, yang berani secara terang-terangan menyatakan permusuhan dengan Mahapatih. “Aku juga tahu, kalau Dhanapati, orang kelima Bhayangkara Biru mengundurkan diri untuk menikah…” Putri Harum Hutan berkata sambil melirik Kiran, yang menundukkan wajah. “Bagaimana kabar istrimu?” Dhanapati terdiam, nyaris tersedak. Perlahan dia mengambil ‘gelas’ dari bambu berisi air dingin dan meminumnya. Dhanapati mereguk sambil memejamkan mata. “Istriku… Dan putraku yang masih bayi… Tewas. Terbunuh….” “Ahhh…” Seruan tertahan nyaris serempak keluar dari bibir Tiga Dara. Ketiga gadis ini menatap Dhanapati dengan sorot mata yang sukar diterjemahkan. “Hmmm… Jadi itu sebabnya kenapa kau sampai terluka hebat. Tapi siapa yang berani mati membunuh istri dan putra orang kelima Bhayangkara Biru?” Dhanapati meletakkan gelas bambu. Dan menatap Putri Harum Hutan. “Yang membunuh istri dan anakku… adalah… Bhayangkara Biru!!!” “Ahhhh!!!” Kali ini Putri Harum Hutan tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Dia balas menatap Dhanapati, seperti mencari tanda bahwa ucapan pemuda itu dusta. “Tapi mengapa?” “Putri mengenal Bhayangkara Biru bukan? Menurut putri, kenapa mereka melakukan itu? Kenapa mereka, yang aku anggap saudara, tega melakukan hal itu?” Putri Harum Hutan terdiam. Lama. Dan akhirnya dia mengangguk. “Aku mengerti. Bhagawan Buriswara tak bisa memaafkanmu. Dia menganggap kau pengkhianat. Kau harus dibungkam karena mengetahui semua kebusukan yang dilakukan Bhayangkara Biru, mungkin juga yang dilakukan Mapahatih selama ini….” Dhanapat membisu. Sampai sekarang, dia masih tak mengerti kenapa saudara-saudaranya, yang pernah sehidup semati, bisa melakukan itu. Dia juga tak mengerti kenapa Bhagawan Buriswara yang selama ini dianggapnya sebagai pengganti ayah, juga melakukan itu. Kenapa mereka seperti tak sudi melihatnya bahagia? Kenapa semua kebersamaan yang telah terbina selama bertahun-tahun bisa hilang dan lenyap begitu saja? Di luar, gerimis sudah menjadi hujan. Samar terdengar bunyi guruh bersahut-sahutan. Kegelapan menyelimuti malam…

***

“Dia pasti cantik…” Dara Merah, yang baru saja menambahkan kayu bakar ke api, tiba-tiba bicara. “Siapa?” “Istrimu. Dia pasti cantik…” “Oh iya. Dia cantik. Dia wanita tercantik yang pernah kutemui selama ini…” Dhanapati memejamkan mata. Wajah sang istri, Sekar Wangi terbayang. Senyumnya. Tatapan matanya… Karena memejamkan mata Dhanapati tak mengetahui kalau Kiran juga menundukkan wajah sambil menarik nafas panjang. “Bagaimana kalian bertemu?” Kali ini Dara Biru yang bertanya. “Ahhh. Ceritanya panjang…” “Kita punya banyak waktu kan?” Dhanapati terdiam. Mencoba mengingat kembali lembaran masa lalu. Masa lalu indah yang takkan terlupakan. “Semua berawal di malam itu. Hanya malam biasa seperti malam lain. Namun malam itu ternyata mengubah hidupku…” Dhanapati berhenti dan mereguk air dari gelas bambu. Putri Harum Hutan, ketiga dara dan Kiran menanti. Tak sabar. (bersambung)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline